Home Kisah Dialog tentang Manusia
Dialog tentang manusia

Dialog tentang Manusia

by Imam Nawawi

Waktu shalat Isya’ baru saja usai pada Jumat (3/1/25). Saya duduk bersama istri. Kemudian kami berdialog tentang manusia dengan santai. “Siapakah manusia itu?” Pertanyaanku yang istri balas dengan senyuman.

Secara umum kita bisa memahami manusia sebagai noumena dan manusia sebagai fenomena.

Dialog Noumena dan Fenomena

Contoh sederhana bisa kita lihat alam buku “Membangun Peradaban Islam” karya Suharsono. Manusia dalam Peradaban Barat dilihat sebagai fenomena. Seperti: ‘srigala’, gelas kosong, kertas putih, makhluk yang terjatuh karena dosa dan mungkin masih ada lainnya.

Sedangkan Islam memandang manusia secara noumena, yakni sebagai hamba Allah, selaku khalifah Allah di muka bumi. Atas dasar itu manusia (siapapun itu) punya fitrah. Itulah dasar eksistensi manusia sejak lahir ke muka bumi ini.

Oleh karena itu dalam ruang sejarah pada babak imperialisme, bagi masyarakat Barat, menjajah itu tidak masalah. Karena cara mereka memandang manusia hanya sebatas fenomena. Akan berbeda kalau mereka punya kesadaran manusia sebagai noumena.

Perhatikan penjelasan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, Islam tidak pernah mendatangi suatu negeri melainkan memajukan masyarakat setempat, memakmurkan negeri itu.

“Apa pernah ada sejarah Islam datang ke suatu negeri kemudian kekayaan negeri itu diangkut ke Makkah dan Madinah?” Itu kalimat beliau yang saya ingat.

Baca Juga: Jangan Cemas Soal Masa Depan

Kalau kita lihat sejarah, Belanda membangun negerinya ya dengan menjual hasil kekayaan bangsa kita. Mereka bahkan pernah menerapkan politik tanam paksa. Supaya apa? Negara mereka kaya, negeri kita semakin sengsara.

Dasar

Mendengar uraian itu, istri saya mengangguk. Kemudian tersenyum dan berkata. “Terus?”

Jadi manusia secara mendasar begitu cara kita memahaminya. “Mari kita melihat kejadian yang ramai sekarang ini,” ucapku kepada istri.

Kejadian tragis seperti kasus pembunuhan bos rental mobil oleh orang yang “menyewa” mobilnya, yang marak diberitakan akhir-akhir ini, menunjukkan betapa lemah atau rusaknya fitrah kemanusiaan pelakunya.

Dalam Islam, kita diajarkan untuk memahami manusia secara utuh dan mendasar, dengan segala potensi baik dan buruknya.

Ketika seseorang dengan mudah merugikan, menyengsarakan, bahkan menghilangkan nyawa orang lain, hal itu mengindikasikan adanya kerusakan dalam fitrah kemanusiaannya, yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kasih sayang, keadilan, dan saling menghormati.

Penyebab dari itu adalah orientasi hidup. Ketika seseorang lupa akan noumenanya, maka ia akan sangat sadar akan fenomenanya.

Seperti kita tahu, fenomena sudah tercemar oleh pikiran banyak orang, bias nilai dan tentu saja secara orientasi menjadi tidak jelas.

Kata Nabi SAW manusia itu lahir dalam keadaan fitrah. Orang tua mereka yang menjadikan Majusi, Yahudi atau Nasrani.

Orang tua dalam konteks itu bisa memang ayah dan ibunya, bisa juga bermakna lingkungan dan pergaulan. Akibatnya ia lupa bahwa manusia itu makhluk mulia di sisi Allah.

Pernah membayangkan bagaimana kelak ketika orang yang membunuh itu berhadapan dengan pengadilan Allah?

Membunuh satu nyawa itu sama dengan membunuh seluruh manusia. Kalau ia ingat akan itu, tidak mungkin orang mau membunuh sesama. Bagaimanapun kemarahan membakar hatinya.

Jadi, siapa manusia itu sebenarnya? Saya kira ini sudah waktunya pembaca ikut memberikan jawaban dalam hati masing-masing. Demikian, terima kasih.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment