Sekira pukul 20.00 WITA (18/5/22) saya kembali berkesempatan jumpa bareng para santri. Tugas saya adalah bagaimana dialog mengajak berpikir para santri. Oh, ya, mereka adalah santri Pesantren Hidayatullah Samarinda.
Seperti kala di Kutai Kartanegara, saya memberikan sedikit rangsangan agar santri mulai aktif berpikir, kemudian saya memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan ide atau pun pertanyaan.
Baca Juga: Karya yang Terus Berguna
Ternyata para santri sangat antusias dalam forum yang melibatkan mereka berpikir secara aktif. Terbukti mereka selalu merasa tertantang untuk maju, mengemukakan pendapat dan bertanya.
Bahkan mereka tidak lagi merasa harus malu dan canggung. Saya melihat realitas ini sebagai hal yang sangat menyenangkan. Karena dengan pola dialog saya dan santri yang masih sangat belia bisa saling memahami.
Dialog dalam Pendidikan
Yusuf Tri Herlambang dalam bukunya “Pedagogik: Telaah Kritis Ilmu Pendidikan dalam Multiperspektif” menjelaskan urgensi dialog dalam pendidikan.
“Hanya melalui dialog, manusia dapat menemukan hidup yang bermakna dan bukan pendidikan yang membius dan mematikan daya kreasi.”
Ia menambahkan karena dalam dialog hadir rasa cinta yang mendalam, sehingga interaksi dapat berlangsung secar intens dan hangat.
Saya kira anak-anak zaman sekarang sangat sedikit yang mendapati model interaksi pendidikan dalam bentuk dialog. Padahal dengan dialog satu sama lain bisa mengemukakan apa pandangan, harapan dan pikirannya.
Dialog Orangtua dan Anak
Saya mendapati satu ungkapan bahwa anak-anak zaman sekarang sejatinya tidak sulit mendapat nasihat. Tetapi mereka tidak mau, karena nasihat kadangkala telah mereka dapatkan dalam dosis sangat tinggi.
Dialog memang kebutuhan manusia. Oleh karena itu kalau kita memerhatikan Alquran, tak jarang ada kisah dialog yang baik, termasuk antara orangtua dan anak.
Nabi Ya’kub misalnya selalu berdialog dengan anak-anaknya, terutama Nabi Yusuf soal mimpi besarnya.
Dialog itu jadikan Nabi Yusuf sadar akan eksistensi dirinya dan bagaimana menyikapi kedengkian serta melatih menjaga amanah dari orangtua untuk menjaga mimpi besarnya.
Demikian pula Nabi Ibrahim dengan Nabi Ismail. Keduanya menggunakan metode dialog untuk memahami dan melaksanakan perintah Allah Ta’ala.
Dialog Mengajak Berpikir
Dialog dengan demikian adalah metode penting dalam pendidikan. Melalui dialog orangtua akan tahu pemahaman dan kesiapan psikologis anak. Anak pun memahami apa yang menjadi harapan dan pikiran besar orangtua.
Sayangnya belakangan dialog tak begitu menjadi pilihan utama banyak orangtua dalam mendidik. Sebagian hanya ingin anak paham orangtuanya.
Baca Juga: Asah Terus Keahlianmu
Sebaliknya anak pun melihat orangtua tak pernah menghargai eksistensinya. Karena apa-apa selalu perintah. Tidak ada dialog, tidak ada kesempatan anak belajar berpikir dan mengemukakan isi hatinya.
Ini mungkin renungan yang bisa jadi bahan evaluasi kita bersama.*