Menyimak dan memperhatikan ucapan para politisi jelang pemilihan presiden (pilpres 2024) rasanya kayak adem banget. Mereka seperti teman bagi rakyat. “Ayo jaga TPS, jangan langsung pulang. Harus berani, laporkan kalau ada kecurangan.” Dalam hati saya berkata, luar biasa betapa rakyat seakan jadi teman kala dekat masa pemilihan. Selanjutnya?
Kita tidak perlu teruskan, apa yang para politisi lakukan setelah menang. Jangankan mau datang ke rakyat, menyempatkan diri naik kendaraan masyarakat saja kayaknya mulai ogah.
Hal yang perlu kita underline adalah kata, jaga TPS. Ini memang jadi narasi umum, tidak saja politisi. Relawan yang peduli pemilihan presiden berjalan jujur dan adil pun sepertinya juga punya konsen pada tema ini.
Baca Juga: Mari Kuatkan Keluarga
Jadi, sekarang orang mulai aktif dalam demokrasi dengan kesadaran penting mengawasi TPS sebaik mungkin. Berbeda pada masa sebelumnya, apalagi pada masa orde baru, selesai memilih, warga pulang, kembali pada aktivitas masing-masing.
Jangan Takut
Kata “jangan takut” yang politisi serukan kepada rakyat sebenarnya adalah buah dari ketakutan sang politisi itu.
Ketakutan pertama, mengapa mereka tidak menyusun UU Pemilu yang bebas dari kecurangan.
Kenapa sadar akan ada kecurangan, malah rakyat yang disuruh berani?
Ketakutan kedua, perpecahan sikap dan jalan politik antar politisi terjadi di tengah jalan, sehingga “perseteruan” yang tertangkap kamera dan benar terjadi, membuat satu kubu mewaspadai kubu lain, yang sebelumnya boleh jadi teman koalisi.
Seharusnya polisi itu yang siaga, bagaimana agar pemilu bisa nihil kecurangan. Karena yang tahu pemilu akan curang atau tidak, lagi-lagi, ya, politisi itu sendiri.
Kritis
Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai rakyat?
Pertama, tetap kritis. Tidak ada yang salah pada seruan jaga TPS dan jangan takut laporkan kecurangan. Akan tetapi, semua itu harus kita lakukan untuk mengawal calon pemimpin yang memang teruji baik.
Baca Lagi: Dilema Politisi Muslim
Kedua, kata Eep Saefullah Fatah (dalam Podcast dengan Kompas TV) dalam hal berdemokrasi (termasuk bagi kita yang akan memilih wakil rakyat) kita harus punya sikap terlebih dahulu baru memihak.
Artinya jangan jadi pemilih yang kehilangan rasionalitas, gara-gara menggantungkan sikap setelah memihak. Bersikaplah secara adil, jujur dan tepat, baru memihak.
Ketiga, masih saran Eep, jadilah sosok (pemilih) yang punya ukuran. Etika dan moral tentu yang penting jadi ukuran pertama.
Apakah seseorang telah berbuat patut atau tidak patut. Kemudian juga kita harus mengukur keadaan. Memilih ini berdampak apa, tidak memilih itu bermanfaat apa. Semua harus kita ukur lebih dahulu.
Jadi, jangan senang karena hari-hari belakangan ini kita sebagai rakyat diperlakukan bak teman. Tetaplah pada kemampuan berpikir secara kritis, adil dan bijaksana.*