Dakwah anti korupsi kian mendesak. Rasanya ini tepat untuk menjadi bagian dari respon melorotnya Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia.
Koran Tempo edisi 2 Februari 2023 menulis, “Indeks persepsi korupsi melorot ke skor ketika Jokowi baru berkuasa pada 2014. Gerakan pemberantasan korupsi mati suri.”
Tempo melanjutkan bahwa dua periode pemerintahan Jokowi tak berkontribusi apa pun untuk perbaikan upaya anti korupsi di negeri ini.
Artinya reformasi yang telah berlangsung 25 tahun ini tidak mengubah kondisi buruk yang membuat orang dahulu rela turun ke jalan, memprotes praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Baca Juga: Korupsi untuk Haapi Inflasi, Normal?
Setelah Presiden Soeharto turun, kini praktik korupsi tidak tertimbun. Malah bangkit dengan daya rusak yang kian terang dan menyengsarakan rakyat.
Kontrol Sosial
Jika kita telusuri secara sederhana, korupsi tidak pernah mati karena kontrol sosial yang rendah.
Sekalipun dari sisi hukum telah ada KPK, belakangan lembaga anti rasuah itu kian tak berkutik sepertinya. Malah banyak drama terjadi.
Kontrol sosial yang seperti apa? Yakni masyarakat yang secara sadar memandang penuh kemantapan bahwa harta korupsi itu buruk.
Seperti orang yang mencuri ayam, tindakan korupsi harus diberi sanksi lebih berat daripada sekedar pencuri ayam, secara hukum, moral dan sosial.
Tetapi ini tidak mudah, mengingat rakyat yang seharusnya mampu mendorong perubahan melalui Pemilu, justru menjadi objek yang sangat mudah terbeli oleh kekuatan uang.
Dari sinilah kita mesti juga memandang bahwa antikorupsi butuh dukungan dakwah secara konkret.
Spiritualitas
Langkah yang juga sangat penting dalam rangka dakwah antikorupsi adalah menguatkan peran spiritualitas diri para pemangku kebijakan.
Saya kira dakwah ke kalangan masyarakat menengah ke bawah tidak ada masalah. Kelompok masyarakat ini bisa menerima.
Akan tetapi, masyarakat menengah ke atas, elit dan para pejabat, apakah mau menerima dakwah. Mengingat mereka orang yang biasa duduk rapat mengatur semua, mulai harga beras sampai situasi politik negeri.
Baca Lagi: Menunggu Tanpa Jemu
Mereka lebih terbiasa bicara dan mengeluarkan aturan. Apakah mau mereka menyimak dan mendengarkan apalagi mengamalkan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari?
Terlepas dari kesiapan mad’u dari kalangan elit. Spiritualitas kelompok kaya memang harus kita kuatkan.
Oleh karena itu pemerintah kalau serius ingin mengatasi soal korupsi jangan diskreditkan agama (Islam).
Sebab, semakin kelompok atas ini jauh dari spiritualitas, sangat mungkin mereka akan semakin rakus terhadap harta rakyat. Disaat yang sama juga tidak akan mau membayar pajak.
Jadi yang sejatinya membutuhkan dakwah antikorupsi ini bukan saja rakyat, tetapi juga pejabat, elit dan orang yang super kaya.*