Home Opini Coba Membedah Isi Kepala Trump
Trump

Coba Membedah Isi Kepala Trump

by Imam Nawawi

Nama Donald Trump belakangan viral. Publik sedang menyaksikan bagaimana Trump memainkan akal ekonomi dan politiknya. Memang itu untuk kepentingan Amerika, tapi dampaknya sampai ke Indonesia. Nah, saya ingin coba membedah isi kepala Trump dengan pendekatan sederhana.

Sebelum ke soal penetapan tarif, mari kita ingat ucapan Trump kepada Zelensky. Salah satu ucapan Trump adalah ini. “Anda tak punya kartu sekarang. Bersama kami, Anda mulai memiliki kartu.”

Analisa Gaya Trump

Secara psikologis, pernyataan Trump kepada Zelensky—”Anda tak punya kartu sekarang. Bersama kami, Anda mulai memiliki kartu”—menggambarkan pola komunikasi dominan yang basisnya relasi kuasa.

Dalam psikologi sosial, ini adalah bentuk power framing. Yakni kondisi seseorang menegaskan posisinya sebagai pemberi manfaat atau sumber kekuatan.

Sementara pihak lain posisinya sebagai pihak lemah yang bergantung. Secara fakta memang begitu. Ukraina jelas tidak kuat berhadapan dengan AS.

Trump membingkai hubungan bukan sebagai mitra sejajar, melainkan sebagai pihak penentu yang bisa memberi atau menahan “kartu” (simbol kekuatan atau pengaruh).

Ucapan ini memperlihatkan kebutuhan untuk memegang kendali, yang lazim muncul pada figur dengan gaya kepemimpinan otoriter atau dominan.

Kecenderungan ini juga tercermin dalam kebijakan Trump saat menetapkan tarif dagang. Penetapan tarif terhadap Tiongkok, Uni Eropa, atau negara lain dilakukan dengan logika negosiasi yang keras—di mana Trump melihat hubungan ekonomi sebagai permainan kekuasaan, bukan kerja sama saling menguntungkan.

Sama seperti “kartu” yang ia tawarkan kepada Zelensky, tarif menjadi alat tekan untuk menegosiasikan ulang posisi Amerika Serikat di panggung global.

Dari sudut pandang psikologi perilaku, hal ini mencerminkan pola transactional dominance—mengelola hubungan dengan orientasi untung-rugi yang kuat, serta menekankan kontrol dan balas jasa sebagai basis utama interaksi.

Egosentrisme Trump

Lebih lanjut, boleh jadi Trump seperti teori Gregory Bassham, terkena egosentrisme. Buahnya minimal ada dua. Pertama, selfishness thinking. Kedua, self-serving.

Artinya, Trump ingin mempertahankan pandangannya yang sesuai (secara ekonomi salah satunya) dengan kepentingan diri sendiri. Kata Bassham, pola berpikir seperti itu basisnya hanya kepentingan diri sendiri. Ia akan mencari keuntungan diri terlebih dahulu. Buruknya, ia menempatkan orang lain (negara lain) sebagai objek bagi pemenuhan kepentingan dirinya.

Kemudian, Trump dengan teori self-serving sangat memandang dirinya harus dapat untung dahulu, baru orang lain. Menurut Kasdin Sihotang dalam buku “Berpikir Kritis: Kecakapan Hidup di Era Digital” dikatakan sikap itu adalah bentuk penakaran terhadap diri sendiri secara berlebihan.

Buktinya saya kira tidak terelakkan, seluruh dunia bereaksi. Salah satu berita menyebutkan, China langsung membuat keputusan balasan.

Artinya, tensi dagang antara dua raksasa ekonomi dunia kembali memanas. China resmi memberlakukan tarif sebesar 34% untuk seluruh produk asal Amerika Serikat—langkah balasan atas kebijakan protektif yang lebih dulu diluncurkan oleh Presiden Donald Trump.

Bagi Trump, langkah keras terhadap Beijing bukan sekadar kebijakan ekonomi, tapi bentuk peringatan bahwa praktik dagang yang dianggap tidak adil tak akan dibiarkan terus berlangsung.

Sementara itu bagi China, ini adalah ajakan bertarung dalam arena yang sama, dengan aturan main yang kini ditentukan oleh kekuatan timbal balik, bukan sekadar retorika.

Menanti Jiwa Besar

Amerika dan China memang sama-sama raksasa. Tapi apa artinya kekuatan ekonomi dan militer jika masing-masing ternyata berpikir hanya pada level egosentrisme.

Dunia kini semakin menyatu, dalam arti sesuatu terjadi di satu negara akan langsung berdampak bagi negara lain. Apalagi kelas kebijakan AS. Oleh karena itu, bukan egosentrisme yang harusnya Trump ambil sebagai kebijakan. Akan tetapi keputusan dengan basis jiwa besar.

AS mungkin punya hal “mengagumkan” secara ekonomi dan politik global. Tapi itu bukan landasan untuk Trump bisa sesuka hati bermain pada level egosentrisme.

Justru sangat keren kalau Trump dengan kepentingan negaranya mampu menumbuhkan sikap dewasa dan saling menjaga tatanan dunia. Indonesia saja akan terdampak kebijakan Trump itu. Mulai dari nilai tukar rupiah yang melemah, hingga PHK massal dan kebangkrutan banyak usaha.

Artinya, apa ada yang merasa untung dengan kebijakan Trump itu?

Tapi, itu terserah Trump. Dia yang sedang punya kesempatan bermain di panggung dunia. Tinggal peran dan legacy apa yang ia ingin siapkan untuk warga dunia.*

Mas Imam Nawawi

 

Related Posts

Leave a Comment