Semalam saya bertemu dengan (sebut saja) Irul (bukan nama sebenarnya). Begitu lama kami tidak bertemu, momen kami berjumpa memakan waktu lebih 4 jam untuk diskusi. Satu tema yang juga kami ulas adalah cinta dalam pernikahan.
Irul sendiri mengalami perjalanan hidup yang berliku. Ia menikah dengan seorang gadis pada masa tidak begitu lama ia wisuda sarjana. Namun takdir memisahkan mereka. Sang istri wafat saat melahirkan sang anak pertamanya.
Baca Juga; Nikah pada Waktunya
Sebagai lelaki Irul ternyata cukup terpukul dengan kenyataan itu. Ia mengaku lebih dari dua tahun tidak berpikir menikah lagi. Cintanya kepada sang istri yang telah meninggal dunia masih begitu kuat.
Cinta adalah Energi
Mengapa Irul bisa demikian? Ia menuturkan karena cinta memang memiliki energi. Hubungan suami istri adalah relasi yang sakral. Bukan sebatas legalitas kontak jasad. Lebih dari itu, suami istri adalah bukti cinta penuh energi.
Baginya menghapus memori perjalanan penuh suka duka bersama sang istri bukanlah perkara mudah. Karena nama sang istri terus bersarang dalam dadanya, begitu kuat.
Menyimak uraian Irul, saya pun teringat sosok Nabi SAW yang juga begitu mendalam cinta dan kasihnya kepada Sayyidah Khadijah ra, meskipun sang istri pertama telah lama meninggal dunia.
Meski demikian cinta kepada Allah harus lebih utama. Setelah dua tahun berlalu, Irul pun mulai coba move on dan melangkah untuk bisa menikah, mencintai wanita lain atas dasar cinta kepada Allah.
Pendek kata, Irul menemukan pujaan hati kedua dan segera menikah. Belum lama ini telah lahir buah cinta Irul dan sang istri. Ia mengatakan, jika Allah menghendaki semua serba mudah. “Pernikahan saya dengan istri yang kedua kali ini, benar-benar sangat Allah mudahkan,” tuturnya.
Hambar
Namun demikian kalau kita membaca berita biduk rumah tangga sebagian orang terkenal, mereka sepertinya cepat menikah dan mudah sekali untuk berpisah.
Mereka menikah seakan bermain. Cocok menikah, tidak pas lagi, ya, berpisah.
Fakta ini memberikan satu bentangan pelajaran kepada kita bahwa hidup yang bahagia adalah yang menjadikan pernikahan sebagai sajadah panjang ibadah anak manusia.
Baca Lagi: Bismillah Menikah
Apabila hal itu lepas dari tujuan pernikahan, maka seperti bahtera yang dikendalikan oleh nahkoda, bukan saja sang nahkoda tidak tahu tujuan, ia juga gagap mengendalikan bahtera itu sendiri. Jangankan ketemu badai, melihat ombak saja ia ketakutan.
Dalam bahasa yang lain, cinta akan mendatangkan maslahat, bila pernikahan kita niatkan sebagai sarana ibadah. Menuju surga bersama dengan pasangan tercinta.
Akan tetapi, begitu pernikahan lepas dari niat mulia itu, mungkin resepsinya digelar mewah, tapi setelah itu kehidupan hanyalah tentang derita, sengsara, dan nestapa. Karena api cinta memang tidak menyala atas kuatnya iman kepada-Nya.
Baru-baru ada seorang suami, kondisinya sakit, sang istri tak dapat menemani, karena sedang sibuk menyiapkan berkas, gugat cerai. Tak terbayang hati sang suami, begitu dirinya sakit, sang istri ingin pergi begitu saja. Sungguh ini adalah pelajaran nyata bagi kita semua.*