Politik, hari-hari ini sedang tren, nyaris semua kalangan memperbincangkan. Maklum, jarak menuju Pilpres 2024 sudah semakin dekat. Namun, kita mesti cerdik dalam melihat realitas politik.
Beberapa alasan mungkin sudah jadi pengetahuan umum. Seperti ketegangan atau tensi yang tinggi antar satu politikus dengan politisi lain.
Saat mereka tampak baku hantam, saling lempar kritik, apakah mereka melakukan itu secara lahir dan batin. Jangan-jangan itu hanya gimmick di depan kamera.
Kemudian, coba perhatikan, satu politikus dan lainnya, yang sekarang bersatu. Apakah sejak lama mereka bertemu dan bergabung dalam satu wadah koalisi?
Fakta Prabowo jadi capres yang mendapat dukungan Jokowi misalnya, itu sudah fakta tak terbantahkan. Bahwa dalam politik memang tidak ada nilai kesetiakawanan. Kalaupun ada mungkin tipis sekali.
Termasuk kalau melihat relasi PDIP dan Jokowi. Mereka dahulu bahu-membahu memenangkan politik, sekarang keduanya berseberangan.
Baca Juga: Desain Politik 2024
Jadi pertemanan dan pertikaian dalam konteks politik itu bisa terjadi antara siapa dengan siapa secara seketika ataupun bertahap. Biarkan saja mereka begitu, kita tidak perlu terperosok masuk dalam lingkaran semu yang seperti begitu.
Nasib Rakyat
Politisi yang sejati memiliki perhatian tinggi terhadap nasib rakyat.
Jadi, kalau ada yang mendefinisikan politik sebagai the art of possibility, itu karena ia terlalu dalam merasuk pada realitas politisi, partai politik semata.
Mungkin mereka telah lupa, bahwa politik adalah jalan paling baik untuk mengubah nasib rakyat.
Bagaimana tidak, secara makna politik (politiek dalam bahasa Belanda) merupakan proses membuat keputusan dalam level negara.
Jadi, kalau rakyat biasa ingin politik berjalan dengan baik, lihat mana politisi yang mengerti dan teruji dalam hal membuat kebijakan.
Jangan lagi terkecoh visi, misi, janji, terlebih kepada sosok yang memang dalam kinerja politiknya benar-benar tidak menarik dalam mengubah nasib rakyat.
Karena kalau kembali pada arti politik, yakni segala hal yang berkaitan dengan perumusan dan implementasi kebijakan publik, maka jelas kita butuh politisi jujur, daripada yang cari sensasi dengan ucapan atau tindakan “ngawur.”
Melek
Dalam hal ini rakyat memang harus mulai sadar alias melek. Jangan lagi memandang politik itu hanya soal uang jelang pemilihan.
Baca Juga: Anak Muda Mulai Ogah Jadi Objek Politik Praktis
Kalau masih seperti itu cara kita memandang politik, maka yang kita korbankan bukan diri sendiri, tapi nasib rakyat.
Orang yang membayar agar terpilih, apakah mungkin ia akan komitmen dengan etika, moral dan tujuan berbangsa dan bernegara?
Dan, untuk memahami ini semua, tidak butuh kuliah sampai 8 semester. Kita cukup mau membuka akal dan hati, lalu coba berpikir walau sesaat, insha Allah kita akan memahami politik dengan sangat cerdik.*