Ketika seseorang merasa menderita, sejatinya itu bukan karena kenyataan yang benar-benar buruk. Boleh jadi ia merasa begitu karena tidak tahu cara cerdas bagaimana bebas. Bebas dari perasaan derita, pikiran negatif, dan kegalauan yang tak menentu.
Filosofi Teras menuliskan, “Semua kesusahan yang kita rasakan datang dari pikiran kita sendiri dan bukan dari peristiwa/orang lain, dan kita bisa mengendalikan pikiran kita”.
Berapa banyak orang bertengkar bukan karena masalah yang benar-benar besar. Tapi mereka tersulut emosi karena informasi yang tidak benar.
Bebaskan Diri dari Prasangka
Derita sering kali lahir dari cara pandang yang terbelenggu oleh prasangka atau ketakutan yang berlebihan.
Dalam relasi sesama, ada seseorang merasa tidak nyaman dengan temannya karena WA tidak dapat balasan.
Tanpa mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, prasangkanya sudah negatif duluan.
Padahal teman yang tidak membalas WA seperti biasanya sedang membantu tetangga. Tetangganya mengalami duka, satu anggota keluarganya ada yang meninggal dunia.
Sebagai tetangga, tentu temannya melakukan apa yang Rasulullah SAW teladankan. Takziyah bahkan hingga mengantar ke liang lahat.
Rasa kacau itu timbul karena prasangkanya sendiri. Sebuah rasa yang tidak perlu terjadi, kalau dia mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Jadi, cerdaslah dalam mengelola prasangka. Sungguh setiap orang butuh untuk meningkatkan kemampuan mengelola pikiran dan emosi dengan bijak.
Bebas dari Belenggu Pikiran Negatif
Menjadi manusia bebas berarti mampu melepaskan diri dari belenggu pikiran-pikiran negatif yang mengikat.
Pikiran negatif sering kali menjadi rantai tak kasat mata yang membuat seseorang terjebak dalam kesedihan atau kecemasan.
Untuk memutus rantai tersebut, diperlukan kesadaran penuh untuk mengenali pola pikir yang merugikan.
Misalnya, ketika rasa takut mulai menguasai, cobalah untuk memahami. Mengapa rasa takut itu muncul. Ketika telah memahami, maka berupayalah untuk menggantinya dengan rasa syukur atau perspektif yang lebih positif.
Perhatikan kisah Nabi Yusuf as. Beliau tak ada dendam dan buruk sangka kepada saudaranya yang zalim. Nabi Yusuf as sadar, saudaranya sedang terpenjara oleh cara berpikir setan.
Akibatnya mereka gagal membebaskan diri dari rasa iri, dengki dan zalim.
Mencapai kondisi itu, kita butuh terus melatih kesadaran dan praktik pengendalian pikiran.
Melalui latihan yang konsisten, kita akan menemukan kebebasan. Yakni saat hati memahami bahwa bebas itu artinya kita memilih bersikap baik, benar, sesuai kehendak Allah Ta’ala.
Kebebasan juga berarti mampu menjalani hidup tanpa terombang-ambing oleh perasaan galau yang tak menentu.
Kalau kita memiliki itu kita akan bebas. Bebas dalam penyesalan masa lalu. Dan, merdeka dari kekhawatiran akan masa depan.
Fokus kita sekarang satu, berpikir benar, berbuat baik, dan menularkan kebaikan. Itulah manusia yang bebas. Pribadi yang menetapkan tekad meniti jalan yang lurus.*