Home Artikel Cara Buya Hamka Membangun Jiwa Besar
Cara Buya Hamka Membangun Jiwa Besar

Cara Buya Hamka Membangun Jiwa Besar

by Imam Nawawi

Ketika Buya Hamka menerima Astuti, putri dari Pramoedya Ananta Toer yang akan menikah dengan pujaan hati yang dari etnis Tionghoa ingin belajar Islam. Putra Buya Hamka seakan protes. Ia ingin tahu bagaimana Buya Hamka membangun jiwa besar.

“Lupakah ayah, siapa Pramoedya itu?” tanya putra Buya Hamka, Rusydi Hamka yang melihat begitu banyak fitnah yang keluar dari mulut Pramoedya.

Baca Juga: Buya Hamka untuk Pemuda Masa Depan

Hamka menjawab tenang. “Tidak. Betapapun dia membenci kita, kita tak berhak menghukumnya. Allah-lah Yang Maha Adil. Dan dia pun sudah menjalani hukumannya dari penguasa di negeri kita ini.”

Buya Hamka memang bukan sebatas manusia cerdas, ia juga sosok yang penuh dengan integritas, akhlak mulia. Dan, tentu saja jiwa besar.

Pemaaf

Ketika Ramadhan berbicara target tentang takwa, betapa banyak orang yang masih gagal atau malah ogah meraihnya. Ibadah ia lakukan, tapi hatinya tetap menyimpan bara permusuhan, kebencian dan kedengkian.

Hatinya tetap dangkal, jiwanya gersang dan akalnya picik.

Alih-alih menghadirkan kebaikan, orang seperti itu dalam 24 jam kebanyakan hanya bisa mengoreksi pekerjaan atau bahkan kekurangan orang lain. Tak ada diksi yang menginspirasi dari otak orang yang seperti itu.

Orang seperti itu akan sulit meraih takwa, bahkan kala Ramadhan tiba. Ia akan merasakan takwa hanya jika mau tunduk kepada Allah Ta’ala.

Seperti Buya Hamka yang berjiwa besar dengan menjadi pemaaf. Buya Hamka yakin dengan nilai Quran agar kita selalu berusaha memberi maaf kesalahan manusia (QS. Ali Imran: 134).

Kekuatan

Umat Islam akan kuat kalau persatuan menjadi utama dari segenap kepentingan, baik pribadi maupun golongan.

Ini memang bukan hal mudah, tapi sejauh jadi kesadaran, akan selalu ada indikasi bahwa persatuan akan sama-sama kita perjuangkan.

Baca Lagi: Tantangan Pemikiran Generasi Muda Islam

Rumah tangga yang kehilangan jiwa besar pemimpin akan rentan terhadap keretakan bahkan kehancuran. Pun demikian dengan organisasi, bangsa bahkan negara.

Oleh karena itu, nilai Pancasila pada sila ke-3, “Persatuan Indonesia” harus menjadi spirit para politisi negeri dalam mengemban amanah.

Hidup bukan seperti kambing apalagi monyet, yang tahunya hanya makan dan menggenggam makanan sebanyak-banyaknya. Tanpa pernah peduli makanan itu milik siapa.

Dalam kata yang lain, kita butuh teladan Buya Hamka, bisa memaafkan. Terlebih yang pernah menghina telah sadar dan mengakui bahwa yang sebenarnya menjadi jiwa Buya Hamka adalah maslahat umat. Bukan dirinya ingin tampil terhormat.*

Mas Imam Nawawi

 

Related Posts

Leave a Comment