Pemuda masa depan akan seperti apa? Pertanyaan ini ringan. Namun tak mudah menjawabnya. Hal ini karena pemuda masa depan, kita butuh melihat sekarang dan sejarah. Sekarang mari ambil inspirasi Buya Hamka untuk membentuk pemuda masa depan.
Jika kita ingin lahir pemuda yang mampu tandang seperti Buya Hamka, maka sejak usia belasan, anak-anak hari ini harus berani merantau menuntut ilmu. Hamka telah ke Makkah sejak usia belasan tahun.
Baca Juga: Tantangan Pemikiran Generasi Muda Islam
Kalau kita ingin pemuda seperti Ustadz Abdullah Said, maka harus mulai aktivitas mencintai buku, membaca dengan memahami. Lalu usia belasan pula sudah menjadi khatib di masjid-masjid besar.
Kalau kita ingin pemuda lebih hebat dari pemuda saat ini dan masa lalu, maka mereka harus menjalani proses lebih baik dari pemuda sekarang dan masa dahulu.
Sekilas Kehidupan Buya Hamka
Dalam buku “Pribadi dan Martabat” karya Rusydi Hamka dikisahkan bahwa sejak usia tiga tahun, Buya Hamka sudah terbiasa mendengar perdebatan sengit antara kaum muda dan kaum tua tentang paham-paham agama.
Hal itu kelak jadikan Hamka sangat rileks dalam perbedaan pendapat, bahkan dengan Soekarno dan Pramoedya Ananta Toer. Hamka tak ada dendam kepada keduanya. Meski keduanya telah menyusahkan hidup Buya Hamka.
Menariknya, di masa belum ada komputer dan internet, Buya Hamka adalah pribadi yang sangat haus terhadap ilmu, sehingga ia tak sebatas menjadi ulama, tetapi juga sastrawan.
Karyanya menjadi ulasan banyak orang. Bahkan buku “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menjelma film layar lebar.
Pada usia 16 tahun, Hamka berangkat ke Jawa, Yogyakarta dan berkenalan dengan HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM. Soerjopranoto, dan H. Fakhruddin.
Dan, Hamka menikah pada usia 21 tahun sedangkan istrinya 15 tahun (Siti Raham).
Kemudian pada 1959 Buya Hamka menerbitkan majalah tengah bulanan Panji Masyarakat bersama KH. Fakih Usman dengan konten utama perihal kebudayaan dan pengetahuan Islam. Namun usia majalah tak lama, karena 17 Agustus 1960, Soekarno memberhentikan.
Gambaran Kapasitas
Melihat sekilas perjalan hdiup Buya Hamka. Dan, saya sendiri juga mengamati perjalanan hidup Ustadz Abdullah Said, maka ada satu gambaran tegas dan jelas kapasitas apa yang mesti ada pada diri pemuda masa kini.
Pertama, tradisi yang baik. Buya Hamka sejak belia telah terbiasa dengan tukar pikiran (debat) sengit orangtua tentang Islam.
Baca Lagi: Mengenal Saifuddin Quthuz Sosok Penting Bagi Anak Muda
Ustadz Abdullah Said sudah terbiasa dengan diskursus ke-Islam-an yang dia peroleh dari aktivitas membaca, kemudian mengelaborasi dan mengkhutbahkannya melalui mimbar-mimbar Jumat.
Kedua, Buya Hamka sangat senang bertemu orang yang punya niat dan kiprah perjuangan. Demikian pula dengan Ustadz Abdullah Said.
Ketiga, mantan Ketua MUI era orde baru dan Ustadz Abdullah Said sama-sama sadar pentingnya literasi umat. Maka keduanya tidak lupa menerbitkan majalah.
Itu berarti, kaum muda hari ini harus menguasai literasi, kemediaan, pers dan penerbitan. Satu kapasitas paling dasar untuk seorang pemikir, aktivis dan pergerakan.*