Dalam beberapa waktu terakhir ini saya bertemu kolega dan membaca buku yang vibrasinya sama, tentang membangun kecerdasan diri. Cerdas dalam arti bagaimana tidak buta nikmat sehingga hidup seolah terus dalam duka.
Tidak sedikit orang sadar dirinya buta nikmat (salah menganalisis potensi diri yang sesungguhnya, yang menjadikannya hebat dalam manfaat bagi kehidupan) setelah usia melampaui 40 tahun. Hal itulah yang membuat duka seperti lebih sering menyapa dari pada suka.
Eckhart Tolle bertutur dalam awal bukunya “The Power of Now” bahwa ia pernah mengalami depresi berat hingga ingin mengakhiri hayatnya sendiri. Ia kemudian mendapatkan pengalaman “spiritual” mendalam, sehingga sadar bahwa manusia akan bahagia jika ia mengerti bagaimana memaksimalkan hari ini. Bukan merisaukan masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan.
Nikmat Hari Ini
Saat orang mengeluh, mendramatisir apa yang mereka alami sebagai kesulitan, sesungguhnya mereka lupa akan apa itu bahagia sebagaimana Rasulullah SAW ajarkan.
Baca Juga: 3 Bukti Seorang Hamba Bersyukur
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi).
Rasa aman, meliputi diri, keluarga dan masyarakat merupakan nikmat terhebat yang kita rasakan. Lihat saja bagaimana musibah yang melanda beberapa tempat di dunia. Mungkin rekening mereka ratusan miliar, tapi apa arti dari semua itu ketika rumah terbakar, akses keuangan lenyap dan diri tak berdaya sama sekali.
Dalam konteks aman itu, kok kemudian ada orang berpikir bagaimana korupsi, menipu dan lain sebagainya, pertanyaannya sederhana, ia mau kemana esok hari?
Kemudian kesehatan, yang sekarang kita rasakan. Mengapa kita tidak anggap sebagai nikmat hebat? Berapa orang kaya raya kini terbaring di rumah sakit?
Kesehatan fisik adalah prasyarat untuk hidup bahagia sehari-hari. Tanpa kesehatan yang baik, orang sulit bekerja, belajar dan bermanfaat bagi sesama, termasuk beribadah yang wajib (mahdhah).
Kemudian makanan pokok. Kita pasti butuh makan dan minum. Oleh karena itu Gus Baha memberikan peringatan mendalam meski dengan bahasa ringan. Kenapa kita senang dan ingin punya mobil mewah, rumah megah, padahal tidak memiliki itu semua, kita tetap hidup. Bayangkan kalau kita tidak dapat minum, nikmat air dari Allah, nyawa melayang.
Syukur Kita Gas
Kini saatnya kita sembuh dari buta nikmat. Kita tangkap kenyataan sekarang, kita hadapi, kita selesaikan bahkan kita syukuri.
Saat kita fokus pada hari ini, kita dapat meningkatkan produktivitas. Selamat dari ancaman stres. Sebab hukum masa depan adalah akumulasi dari apa yang kita lakukan setiap hari, termasuk hari ini, sekarang.
Memaksimalkan sekarang pada hari ini juga dapat menyembuhkan luka batin karena trauma masa lalu. Kita akan lebih mudah membuka peluang baru. Serta yang tak kalah penting, kita bisa meningkatkan kualitas hidup.
Satu hal lagi, hebatnya ajaran Islam, kita tidak saja dituntut berpikir tetapi juga berdzikir. Apa maknanya? Agar kita tidak memaksa akal kita bekerja di luar kemampuan. Tapi juga melibatkan hati maksimal menangkap cahaya Ilahi. Saat itu ada dalam diri, maka energi syukur akan tetap menyala.*