Betapa banyak orang mendambakan yang namanya bahagia. Sebagian orang dengan kekuatan ekonominya berangkat ke mancanegara, lalu memposting foto tertawa di media sosial. Ia bahagia? Mungkin begitu orang kebanyakan memandang. Karena ia bisa menempuh tempat yang jauh, Eropa dan Amerika. Tetapi apakah benar itu kebahagiaan?
Media sosial dalam kajian kesehatan, telah menjadi salah satu faktor pendorong terciptanya gangguan mental banyak orang. Mereka senang menampilkan diri satu sisi. Sisi lain merasa kurang beruntung karena melihat tampilan foto orang lain.
Baca Juga: Bahagia Sekarang Juga
Akibatnya, sebagian dari orang itu mengalami yang namanya mental breakdown. Kondisi jiwa yang sedih berlebihan, mudah kelelahan, dan senang scrolling, akibatnya kurang tidur dan kembali menjadi lelah jiwa dan raga.
Pilihan
Orang yang bahagia tidak tergantung pada tempat dan waktu, akan tetapi lebih pada semangat dan cita-cita hidupnya.
Lihat saja, Madinah itu tempat penuh berkah, semua orang mendambakannya bisa ke sana, sebagian berhasil tinggal di sana. Tetapi bagi Syaikh Ali Jaber, berdakwah di Indonesia lebih membahagiakan.
Ibn Abbas ra juga sahabat Nabi SAW yang luar biasa, namun akhirnya ia memilih mengisi siswa waktunya di Kota Thoif dan meninggalkan Madinah.
Buya Hamka, dari Sumatera Barat, tidak mengapa hijrah ke Sulsel, kemudian Sumatera Utara dan akhirnya ke Jakarta. Semua ia lakukan dengan penuh kerelaan dan tentu saja kebahagiaan.
Ustadz Abdullah Said, dari Sulsel rela meninggalkan kampung halaman untuk membangun Pesantren Hidayatullah di Balikpapan.
Jawabannya karena bahagia bagi mereka adalah tentang memilih tempat yang mereka bisa memaksimalkan kebermanfaatan diri mereka bagi Islam.
Jika kita tinjau secara teoritik, orang bahagia selalu mencari info, membuka wawasan dan mau menempuh jalan baru. Sedangkan orang yang tidak bahagia, sukanya berpikir negatif, dan senang memikirkan hal-hal yang tidak menyenangkan.
Jadi, bahagia itu pilihan, bisa kita miliki sekarang atau tidak hari ini. Tergantung, kita mau mendatangkan kebahagiaan itu kapan ke dalam dada ini.
Hindari
Oleh sebab itu, kita harus belajar kepada para pejuang Islam. Mereka hidup secara ekonomi tidak luar biasa, namun hingga kini amal sholeh mereka terus memberi manfaat luas bagi kehidupan umat.
Tidak lain karena mereka punya visi, cita-cita, lalu menempuhi jalan komitmen dan konsisten dalam mewujudkannya.
Jadi, hindarilah sikap yang dapat mengundang kesedihan dan kesengsaraan. Seperti cepat resah, mudah patah semangat, gampang depresi dan frustasi.
Tetapi, bersabarlah. Karena bahagia hakikatnya adalah pemberian Allah yang sebagian Allah wujudkan kepada hidup seorang hamba karena mereka berhasil mencapai amal-amal penuh kebaikan.
Baca Lagi: Literasi dan Masa Depan Kita
Terakhir ada ungkapan Fudhail bin Iyadh tentang kebahagiaan.
“Ketika matahari terbenam, aku bahagia dengan gelap malam, karena aku dapat berkhalwat dalam kesunyian dengan Rabbku. Dan, apabila matahari terbit, aku berduka karena datangnya manusia kepadaku.”*