Melihat “pertengkaran” antara mereka yang jadi rakyat dan pejabat belakangan ini, sepertinya negara ini butuh kekuatan akal. Akal yang bisa memahami. Namun, ternyata, ego kerap mendominasi, sehingga akal kerap tersisih. Mereka negasikan.
Bak debat soal telur dan ayam, mana lebih dahulu. Akal bertemu ego, tak akan sampai pada titik temu. Masing-masing punya alasan. Hanya saja akal masih menyodorkan bukti. Sedangkan ego tak peduli pada data. Ia lebih suka menang sendiri daripada benar-benar mau memahami.
“Sistem Kerja Ego”
Lalu apakah ego buruk? Nanti dulu. Ego sering kali menolak data dan argumen akal sehat karena fungsinya memang sebagai mekanisme pertahanan diri yang bertujuan melindungi identitas dan harga diri seseorang.
Ketika seseorang dihadapkan pada informasi atau argumen yang bertentangan dengan keyakinan atau pandangannya, ego akan merasakan ancaman terhadap identitasnya.
Alih-alih menerima kebenaran objektif, ego cenderung memilih untuk menyangkal atau mengabaikan data tersebut demi menjaga konsistensi narasi internal yang sudah ada.
Hal ini dalam psikologi kita kenal sebagai “cognitive dissonance,” yaitu ketidaknyamanan mental yang timbul ketika seseorang menghadapi konflik antara keyakinan mereka dan fakta baru.
Sebagai ilustrasi, bayangkan seorang individu yang sangat percaya bahwa sukses hanya bisa orang capai melalui kerja keras tanpa henti. Suatu hari, dia mendengar argumen logis dari seorang ahli bahwa efisiensi waktu dan istirahat juga penting untuk mencapai kesuksesan jangka panjang.
Namun, alih-alih menerima argumen itu, dia menolaknya karena merasa bahwa hal itu menggoyahkan nilai-nilai yang selama ini dia pegang teguh.
Ego-nya melihat argumen tersebut sebagai ancaman terhadap identitasnya sebagai pekerja keras yang tidak pernah menyerah, sehingga dia lebih memilih untuk tetap mempertahankan keyakinannya meskipun bertentangan dengan bukti ilmiah.
Dunia Politik
Contoh lain adalah dalam diskusi politik. Misalnya seseorang telah lama mendukung partai tertentu karena merasa partai tersebut mewakili nilai-nilai pribadinya.
Ketika data statistik menunjukkan bahwa kebijakan partai tersebut gagal mencapai tujuan yang dijanjikan, orang tersebut mungkin tetap menolak data tersebut dan malah mencari pembenaran untuk mempertahankan pandangannya.
Ini terjadi karena menerima data tersebut berarti harus mengakui bahwa dia salah selama ini, yang dapat merusak harga dirinya. Dengan kata lain, ego lebih memilih untuk melindungi perasaan daripada menghadapi realitas yang tidak nyaman.
Seperti itulah tampaknya orang yang menolak tagar kabur aja dulu dengan emosional dan reaktif. Ego perlu, tapi ego jangan menghambat akal bekerja dengan baik, sehingga dapat memahami kebenaran.
Akal Sehat
Dengan demikian kita perlu memfungsikan akal sehat.
Memfungsikan akal adalah kunci untuk mencapai sikap bijaksana karena akal memungkinkan seseorang menganalisis situasi secara rasional, mengenali fakta, dan menimbang konsekuensi dari setiap keputusan.
Dengan menggunakan akal, seseorang dapat melampaui emosi sesaat atau prasangka yang sering kali mengaburkan penilaian.
Akal memiliki kemampuan membantu individu untuk berpikir kritis dan objektif, sehingga ia dapat memahami perspektif orang lain, menghargai perbedaan, serta membuat keputusan yang adil dan proporsional.
Dalam konteks ini, akal menjadi alat untuk menjembatani antara pengetahuan dan tindakan, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil benar-benar berdasarkan pada pemahaman mendalam, bukan sekadar dorongan ego atau nafsu.
Selain itu, akal juga memungkinkan seseorang untuk merenungkan nilai-nilai moral dan etika dalam bertindak, yang merupakan inti dari sikap bijaksana.
Ketika akal difungsikan dengan baik, seseorang tidak hanya mempertimbangkan keuntungan pribadi, tetapi juga dampaknya terhadap orang lain dan lingkungan sekitar. Ini akan ada dalam diri pemimpin yang berjiwa besar.
Sikap bijaksana lahir dari kemampuan untuk menyelaraskan pikiran, hati, dan tindakan dalam harmoni yang seimbang.
Dengan demikian, akal yang berfungsi optimal akan membawa seseorang pada kesadaran yang lebih tinggi, yakni bahwa kebijaksanaan bukanlah tentang menang atau kalah, melainkan tentang menciptakan kesejahteraan bersama yang berkelanjutan.
Pada akhirnya kondisi itulah yang kita rindukan.Rakyat menuntut, pemerintah bekerja. Kemudian, rakyat menyampaikan aspirasi, pemerintah bekerja sepenuh hati.*