Kalau mendengar kata Jepang, sebagian orang kagum. Jepang itu negara yang maju ekonomi dan industrinya. Tapi bagaimana dengan orang-orangnya? Berita terbaru menyebutkan, orang-orang Jepang harus berhadapan dengan “badai” sepi. Hidup tak bisa lagi mudah berinteraksi.
The Mainichi (12/4/25), sebagaimana Kompas.id kutip, melaporkan bahwa sebagian besar pekerja Jepang sulit bahagia. Mereka justru merasa kesepian. Angkanya sekitar 10% dari total pekerja. Dan, pekerja laki-laki lebih berpotensi kesepian daripada pekerja perempuan.
Merasa Sepi di Usia Muda
Mereka yang merasakan kesepian itu umumnya berusia 30 dan 40-an tahun. Sebabnya jelas, mereka hidup dengan konsentrasi pada pekerjaan yang sangat tinggi daripada pekerja yang lebih muda.
Mereka bekerja 61 jam per minggu bahkan lebih. Hal ini yang menjadi sebab paling kuat mengapa mereka merasa kesepian.
Akibatnya, pekerja kurang waktu untuk duduk santai, berinteraksi dengan sesama.
Profesor Kesehatan Mental di Sekolah Pascasarjana Kedokteran Universitas Tokyo, Norito Kawakami pun memberikan saran untuk pekerja.
Bahwa para pekerja harus meningkatkan waktu interaksi dengan orang lain. Lakukan secara bertahap. Walaupun dalam interaksi itu tidak langsung cocok. Karena menurutnya, sangat penting setiap orang membangun hubungan dalam jangka panjang.
Silaturahmi Menenangkan Hati
Bersyukurlah anak bangsa Indonesia, mengenal dan mengamalkan sunnah Nabi SAW, berupa praktik silaturahmi.
Secara teori dan pengalaman langsung, silaturahmi mengurangi stres dan kecemasan dengan berbagi cerita dan membangun ketahanan mental.
Lebih jauh, silaturahmi juga mampu meningkatkan sistem imun tubuh dan memperpanjang umur dengan memicu hormon kebahagiaan (dopamin, oksitosin, endorfin, serotonin).
Seperti Ust. Amin Mahmud (Ketua Dewan Pembina Pesantren Hidayatullah Balikpapan) sampaikan dalam pembukaan Silaturahmi Syawal, bahwa siapa silaturahmi ia akan murah rezeki dan panjang umur.
“Ini (panjang umur dan murah rezeki) hadits, Nabi SAW yang menyampaikan. Kita tinggal amalkan dan rasakan manfaatnya,” katanya.
Dalam bingkai filsafat, kita bisa asumsikan bahwa warga Jepang, perlu belajar dan mengenal silaturahmi yang ada di Indonesia untuk mereka hidup tak merasa sepi. Satu ironi di balik kemajuan ekonomi dan industri negara maju.*