Home Artikel Buang Perilaku Negatif dengan Mindset Progresif
Mindset Progresif

Buang Perilaku Negatif dengan Mindset Progresif

by Imam Nawawi

Progresif artinya maju. Seperti membangun rumah, kita ingin waktu demi waktu menjadikan pembangunan terus tumbuh, progresif dan mencatatkan keberhasilan. Pekan pertama pondasi selesai. Kemudian pancang tiang, dinding dan seterusnya. Jika kita memahami itu, maka perilaku negatif dalam diri bisa kita campakkan.

Namun hidup manusia tak mudah seperti pembangunan rumah atau gedung. Tidak sedikit orang hidup tanpa mencapai kemajuan sedikit pun. Pertanyaannya mengapa?

Paul Leonardi dan Tsedal Neeley mengkonsep buku “The Digital Mindset”. Boleh jadi Paul dan Tsedal memandang banyak orang salah kaprah tentang digital.

Digital dalam pandangan banyak orang hanya alat, perangkat dan koneksi internet. Tidak demikian!

Bahwa digital adalah alat, benar. Akan tetapi apa yang menjadi tujuan spesifik kita dalam hidup, mulai dari pribadi hingga bisnis, itulah yang utama kita pastikan. Baru berbicara perangkat digital apa yang yang dapat membantu kita mencapai sasaran tadi.

Saya tidak keberatan dengan konsep “The Digital Mindset” itu, utamanya dalam rangka membentuk kesadaran digital.

Jiwa Progresif

Ketika kita hubungkan mindset progresif dengan digital mindset kita akan temukan bahwa di era sekarang ini, kita butuh jiwa yang progresif.

Bagaimana itu? Yakni kita mampu mengisi kehidupan sekarang dengan jiwa yang tidak hampa. Tetap bergaul dengan dunia digital secara tidak nakal.

Kemudian tetap dalam jalan yang lurus, tidak kesana-kemari karena terbawa gelombang kemudahan yang mematikan. Seperti pinjol, judol dan tindakan konyol.

Bahkan kita harus memastikan diri setiap membuka HP, kita menambah wawasan, menajamkan semangat berbuat kebaikan. Serta tidak gagal dalam membuat roadmap agar hidup lebih berarti, bermakna dan bermanfaat bagi orang lain.

Ishaq Ubaid dalam buku “Eropa di Masa Kegelapan” menuliskan bahwa salah satu ciri orang yang mulai luntur atau bahkan kandas jiwanya adalah karena dua hal.

Pertama, buruk gayanya dalam berbahasa. Jadi tidak lagi mampu membuat kalimat yang benar dengan cara yang halus. Selalu kasar kata-katanya dan tidak memiliki muatan kebaikan.

Kedua, tidak memiliki kecintaan kepada sastra. Nah, dua hal itulah yang menjadi sebab Romawi sebagai peradaban runtuh.

Kemajuan Detik Ini

Pendek kata, berbicara mindset progresif, kita butuh menemukan jawaban jujur, apakah ada kemajuan saya raih pada detik ini.

Apakah saya telah mendirikan shalat, mengingat Allah, dan siap beramal kebaikan dengan kemampuan yang kita miliki?

Sering-seringlah mengajukan pertanyaan itu kepada diri sendiri. Insya Allah, perlahan-lahan, kita akan mulai senang dan nyaman melakukan kebaikan. Kita akan menjadi sangat tidak tertarik berbicara yang tidak perlu.

Kalaupun ada waktu kita gunakan bersantai, maka jawabannya adalah untuk merefresh semangat, kembali melakukan kebaikan setelah bersantai. Manusia harus maju, karena mundur itu susah. Mundur hanya kita perlukan kadang-kadang.

Oleh karena itu jangan pernah tidak punya pikiran progresif. Karena itulah yang akan menjebak jiwa kita dalam gelap. Menjadi regresif.

Ust. Abdullah Said dalam satu rekaman tausiyah mengatakan bahwa kalau biaya pendidikan mahal, mari jadikan pesantren tampil sebagai solusi. Tidak akan ada santri lapar, karena selama kita mau mengingatkan, menggugah umat untuk bersedekah, kebaikan pasti akan Allah datangkan.

Jangan sampai merasa diri baik, padahal kaki tak melangkah kemanapun juga. Sedangkan waktu terus bergulir bak pembalap. Terus melaju meski banyak orang memandang nikmat dalam tipuan lelap. Seakan hidup hanya panggung sulap.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment