Bincang problem-problem menulis dengan mahasiswa STAIL tidak terencana tapi terjadi. Ajaib memang. Dan, begitulah kehidupan.
Jadi, ceritanya, sebelum tiba di Stasiun Pasar Turi (26/5/24) pukul 04.00 WIB saya sempat menulis 2 bait tentang menulis. Qodarullah, ternyata itu adalah isyarat bahwa sore hari saya akan berbincang dengan Mahasiswa STAIL Surabaya. Dan, to the point mahasiswa menyampaikan problem-problem menulis yang mereka alami.
Orang bijak dahulu berkata, sedia payung sebelum hujan. Nah, itulah yang kurasakan. Allah bimbing sebelum menemukan medan untuk menebar kebaikan dengan sebuah “persiapan”.
2 Bait Itu
Inilah dua bait tentang menulis yang sempat saya goreskan sebelum turun dari Kereta Api Sembrani.
Menulis bagus
Menembus hati
Jadikan akal sadar dengan tulus
Buat kalimat mengajak tanpa kata “mari”
Tulisan itu bernyawa
Meski hanya rangkaian kata
Bukankah ada yg bangkit karena membaca
Dan, banyak yang mati karena buta aksara
Kesadaran seperti itu tampaknya jadi kesadaran Cicero. Ia berkata, “Sebuah ruangan tanpa buku seperti tubuh tanpa jiwa.”
Orang yang tidak membaca telah kehilangan akal, bahkan jiwa. Tak ada lagi guna nyawa, karena itu tak membawa kemajuan apapun.
Karena tidak membaca sama dengan tidak menggunakan mata, telinga, rasa, hati, dan jiwa. Selesailah sudah.
Problem Pertama
Problem pertama datang dari seorang mahasiswa. Ia mengaku kalau menulis sering kehilangan kata.
Sebenarnya kita tidak pernah kehilangan kata, yang terjadi adalah kita memang kurang perbendaharaan kosa kata.
Sebuah riset yang disampaikan seorang penggerak literasi, bahwa untuk berbicara dengan baik orang butuh 4000 – 6000 kata. Sedangkan menulis seseorang butuh 6000 – 8000 kata.
Artinya kalau seseorang ingin menulis dan ia belum membaca sebanyak jumlah kata itu, dia pasti akan nyangkut, nyandet, mandek, atau bahkan buntu.
Baca Lagi: Menulis itu Memulai
Solusinya satu, rajin membaca, membaca lagi, membaca terus dan membaca sebanyak-banyaknya.
Problem Kedua
Problem kedua datang dari seorang mahasiswi, ia bercadar dengan antusias yang terus memancar.
“Bagaimana membuat judul yang bagus?”
Membuat judul banyak jadi masalah teman-teman yang baru belajar menulis. Tetapi sebenarnya yang sangat penting bagi pemula adalah apa gagasannya.
Kalau jelas gagasan, orang mudah mengutak-atik judul agar menarik. Tetapi kalau orang punya judul bagus, tapi gagasannya tidak ada (tidak utuh) ia juga tidak akan bisa mewujudkannya dalam tulisan dengan mudah, dengan baik, dan dengan tuntas.
Problem Ketiga
Malas. Ya, seorang mahasiswi tanpa kutahu siapa yang berkata, tapi terdengar satu kelas, bahwa problem menulis yang berat adalah mengatasi sikap malas.
Malas termasuk penyakit berat. Orang yang malas pasti akan kehilangan peluang, sukses terhambat, dan banyak membuang-buang waktu.
Jadi, kalau soal malas bukan hanya menulis, membaca juga banyak yang malas, termasuk malas berpikir.
Solusi dari sikap malas, Nabi SAW memberikan teladan, yaitu berdoa.
Baca Lagi: Menulis untuk Bermanfaat
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian).” (HR. Bukhari).
Belajar dari Kang Maman
Dan, mari belajar dari Kang Maman. Ia sejak umur 3,5 tahun sudah pandai membaca. Dan, sampai sekarang tak pernah meninggalkan aktivitas membaca.
Kang Maman pun memberikan nasihat sang ayah kepadanya saat masih anak-anak.
“Kalau kamu bisa membaca, kamu pasti akan menulis. Dan setelah itu, kamu bisa hidup di mana saja, di pekerjaan apa aja”.
Lihatlah Kang Maman sekarang, ia tak berhenti kesana dan kemari untuk kegiatan literasi. Dan, Kang Maman tak perlu korupsi, karena kesana kemari juga mendatangkan “pundi-pundi”. Itu halal dan berkah, insha Allah.*