Sore weekend awal April 2023 memang telah kami sepakati untuk duduk bersama. Ingin bincang kepemimpinan. Atas izin Allah, niat dan rencana itu dapat kami lakukan.
Mulailah masing-masing menampilkan data, baik hasil pengamatan atau pun yang muncul dan dapat dirasakan dalam perjalanan hidup ini.
Baca Juga: Pemimpin Tuli
“Rasanya selalu ada yang lucu kala mengingat masa lalu dan memperhatikan kepemimpinan, baik diri sendiri maupun orang lain.” Seorang sahabat memulai memecah kebekuan suasana.
“Sepakat,” sahutku.
“Seperti dahulu, betapa diri ini sangat lucu, ketika melihat kebijakan seorang pemimpin yang irasional, kemudian saya respon dengan emosi. Sekarang baru menyadari, betapa lucunya kala itu. Lebih-lebih ketika kita terkena imbas hanya karena pemimpin yang membabi buta, lucu sekali, seruduk sana dan seruduk sini,” imbuh sahabatku yang satu lagi melanjutkan pandangannya.
“Memang pemimpin itu bukan soal jabatan,” timpal temanku satu lagi.
“Kapasitas berpikir seseorang, kebesaran hati dan kemampuan berpikir dengan sudut pandang yang menyeluruh, menjadi penentu bagaimana seseorang mampu bijaksana dalam memimpin,” ku coba menyimpulkan.
Semua mengangguk, tanda sepakat. Meski tentu saja masih ada dalam masing-masing benak kami untuk melanjutkan, tapi waktu berbuka puasa kian mendesak kami segera mempersiapkan buka puasa.
Pendelegasian
Pemimpin yang baik, lagi-lagi menurut John C. Maxwell adalah yang mampu mendelegasikan tugas. Ingat mendelegasikan, bukan melimpahkan tugas.
Melimpahkan tugas, biasanya akan jadi kebiasaan pemimpin yang tidak suka berpikir apa lagi bekerja serius.
Sedangkan mendelegasikan, berarti seorang pemimpin siap mendesain bawahannya tumbuh. Karena itu pemimpin yang bagus akan tahu pada siapa ia mendelegasikan tugas.
Ia akan mengamati mana orang yang kapabel, stabil, dan mumpuni untuk mengemban tugas. Jadi, ia terhindari dari memilih atas intervensi emosi yang dominan. Pemimpin seperti itu akan selamat dari mendahulukan kepentingan pribadi. Selalu ilmu, keadilan dan manifestasi iman yang akan ia dahulukan dalam mengambil keputusan.
Ketika ada seorang pemimpin ingin tampil serba bisa, serba pasti bagus pandangan dan perspektifnya, bahkan tanpa sadar menganggap setiap pendapatnya bak sabda suci, maka ia adalah pemimpin yang tidak realistis. Sederhananya, itu pemimpin gila.
Maxwell menuliskan, “Mungkinkah saya menjadi pemimpin dalam semua aspek hidup?” Jawabannya, tegas Maxwell, “Tidak!”
Tetapi coba perhatikan sekeliling kita, sepertinya akan tampak ada orang yang merasa dari A sampai Z merasa tahu. Bahkan hal-hal kecil pun akan ia tahu. Tapi sayang, pemimpin seperti itu sangat “sibuk” sehingga tidak punya solusi. Umumnya hanya menambah beban bawahan.
Baca Lagi: Pemimpin itu Mendengar Bahkan Bertanya
Akibatnya jelas, ia tidak tahu dan tidak akan pernah melakukan pendelegasian tugas. Karena ia selalu ingin tampil dengan kaki yang mengangkang pada setiap panggung yang dapat menampilkan wajahnya bak orang dalam kisah novel, film, atau pun cerpen, yang imajinasinya sempurna. Sempurna sebagai imajinasi.
Yahduun
“Yahduun” adalah penggalan lafadz dalam Alquran artinya (memberi petunjuk) yang biasa berdampingan dengan kata “aimmah” yang artinya pemimpin-pemimpin.
Islam mengatakan bahwa pemimpin itu mampu memberi petunjuk, arah, peta biru kemenangan dan jalan sukses. Bukan yang hanya menambah beban orang lain.
Jadi, kalau harus kuambil kesimpulan, maka kalau diri ingin bisa memimpin, ilmu menjadi dasar. Kemudian interaksi dan kemampuan berpikir objektif dan adil menjadi penguat kepemimpinan.
Pemimpin sejati tidak akan sempat mencari-cari kesalahan bawahan, apalagi menyanyikan kelemahan tim dan tubuh organisasi. Ia akan berpikir tajam dan cepat, bagaimana solusi dapat dihadirkan dengan segera secara tepat.
Tetapi seperti kata Ustadz Aziz QM dalam kajian Ramadhan di Pesantren Hidayatullah Depok (2/4/23) lalu, pemimpin seperti itu harus mendapat tempaan lapangan, benturan dalam kenyataan. Tidak bisa seorang pemimpin akan matang dan dewasa, hanya karena jabatan, setinggi apapun itu.
Pemimpin sejati selalu hadir dalam ruang nyata, memberi bukti, dengan teladan dan jejak kebaikan. Bukan semata-mata ‘khotbah-khotbah’ basi yang berisi tuntutan kepada bawahan. Sementara dirinya tak lagi sadar, apakah benar telah menjadi pemimpin yang memberi solusi.*