Bicara politik di Indonesia seperti bicara hal sepele. Hal ini tentu saja tidak lepas dari perilaku dari sebagian politisi yang memang rendah secara mutu, terutama dari sisi kejujuran.
Kemudian, kalau membaca tentang tokoh politik, wajahnya hanya dua sisi. Satu memuji. Satu lainnya memaki. Publik benar-benar tidak nyaman kala membaca realitas politik, terutama yang hadir dalam bentuk warta.
Lalu apa sebenarnya politik itu? Mengapa Indonesia belakangan menjadi sangat politik berita-beritanya?
Sepengamatan yang saya lakukan (31/7/22) pada pukul 05.16 WIB, ketika mengetik kata “politik” Google menampilkan 4 berita utama.
Pertama artikel soal “Cebong-Kadrun dan Gerakan Para Begawan Politik.” Kemudian “Fahri Hamzah Sebut Nasdem Bohongi Rakyat soal Tiga Kandidat Capres.”
Baca Juga: Santai Saja Bahas Politik
Selanjutnya “Kelakar Yenny Wahid: Cak Imin Beda Jalur Politik dan Kondangan.” Berikutnya “Muhaimin Iskandar Puji Anies Baswedan Sukses Mantunya, Tak Ada Politik-politikan.”
Coba lakukan renungan, apakah berita itu menambah wawasan dan ilmu bagi orang yang membacanya?
Politik dalam Islam
Bicara politik dalam Islam kita tidak bisa lepas dari bahasa dan akar sejarah. Secara bahasa politik adalah siyasah.
Dr. Tiar Anwar Bachtiar dalam buku “Politik Islam di Indonesia” menerangkan itu dengan mengutip beberapa pendapat tokoh.
Ahmad Fathi Bahatsi menerangkan bahwa siyasah sebagai, pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’.
Ibn Qayyim mengartikan sebagai, segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan (bahkan) Allah SWT pun tidak menentukannya.
Kemudian ada Abdul Wahab Khallaf sebagai ulama fiqh kontemporer.
Ia mengartikan sebagai pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara yang menjamin perwujudan kemaslahatan dan penolakan kemudharatan dengan tidak melampaui batas-batas syari’ah dan pokok-pokok syari’ah yang kulli, meskipun tidak sesuai dengan pendapat-pendapat ulama mujtahid.
Tiar pun mengambil kesimpulan, bahwa arti “politik” dan “siyasah” sangat berbeda. Kemiripan hanya pada soal urusan kemaslahatan umum.
“Akan tetapi, dari segi pemaknaan yang lebih mendasar, dalam istilah siyasah di dalamnya melekat unsur keyakinan terhadap agama (Islam) yang sangat kuat berbeda dengan “politik” yang amat kental nuansa sekulerismenya.”
Politik Hari Ini
Memahami apalagi menilai politik hari ini tidaklah susah. Salah satunya kita bisa gunakan komparasi dari awal masa reformasi hingga hari ini.
Kita ketahui, awal era reformasi adalah ketika BJ Habibie pada 21 Mei 1998 remsi menjadi Presiden RI.
Prof. Dr. Kacung Marijan dalam buku “Sistem Politik indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru” menerangkan dengan baik bagaimana Habibie melakukan perubahan.
“Di tingkat makro, perubahan itu terlihat dari adanya transformasi sistem politik Indonesia, dari yang sebelumnya bercorak otoriter ke arah yang lebih demokratis. Paling tidak, pintu menuju proses demokratisasi sejak saat itu menjadi terbuka lebih lebar.”
Bandingkan dengan saat ini, apakah demokrasi yang lebih terbuka lebar itu semakin sehat atau semakin “sekarat.” Bukankah secara rasio seiring masa yang panjang reformasi harusnya semakin baik?
Jika kritik Mochtar Lubis tentang watak bangsa Indonesia yang ia nilai munafik, bersikap feodal, percaya takhayul, berwatak lemah, tidak bisa mengambil keputusan, dan selalu enggan bertanggung jawab dapat terobati, maka wajah bangsa Indonesia akan lebih baik ke depan.
Baca Lagi: Desain Politik 2024
Dan, mengapa tidak, toh, Mochtar Lubis juga melihat sikap baik orang Indonesia yang halus, cinta damai, cepat belajar, rajin, dan suka humor yang nyaris sempurna. (Lihat buku “Jurnalisme dan Politik di Indonesia Biografi kritis Mochtar Lubis (1922-2004) sebagai pemimpin redaksi dan pengarang” karya David T. Hill).
Namun, situasi sekarang rakyat yang harus proaktif, mulai cermat membaca dan berhenti untuk menjual suara dengan harga yang tidak bisa memenuhi kebutuhan sepekan, sebulan apalagi lima tahunan.*