Home Artikel Biasa-Biasa Tapi Bahagia, Kok Bisa?
Biasa-Biasa Tapi Bahagia, Kok Bisa

Biasa-Biasa Tapi Bahagia, Kok Bisa?

by Imam Nawawi

Hidup biasa-biasa saja, kalimat itu sering saya dengar dari Gus Baha. Ternyata mindset seperti itu penting untuk terus bahagia. Karena ternyata orang yang cerdas di atas rata-rata, seringkali tidak bahagia. Kok bisa?

Biasa-biasa maksudnya adalah memahami hidup dengan sudut pandang yang lengkap.

Kalau Anda, sering Gus Baha contohkan, memiliki istri yang tidak memahami kemauan suami, kemudian suka ngomel, maka sikapi dengan sabar, dengarkan. Insha Allah itu pahala tanpa harus usaha.

Baca Juga: Rumus Bahagia

Jadi bukan malah mengeluh. “Duh, ya Allah, punya istri begitu, cerewet, dan lain sebagainya.

Selain mendatangkan efek negatif bagi jiwa, pikiran seperti itu menghilangkan kesyukuran kepada Allah Ta’ala. Bagaimana bisa kita tidak bersyukur, sedang nikmat Allah melimpah tak terbilang.

Demikian pun kalau Allah memberi jalan kemudahan mendapat rezeki. Maka jangan merasa jumawa. Santai, biasa-biasa saja.

Justru yang jadi tantangan, apakah harta yang ada itu berguna untuk akhirat kita dan manfaat bagi sesama.

Tidak Bahagia

Ketidakbahagiaan terkadang datang kepada orang yang merasa cerdas lalu semua hal harus sesuai analisa, hitungan dan harapannya.

Itulah pikiran-pikiran yang merugikan manusianya sendiri. Apa-apa ingin standar tinggi, perfeksionis, dan tidak siap dengan yang tidak sesuai harapan.

Pikiran itu menimpa Fir’aun. Saking inginnya terus menjadi raja, ia perintahkan pasukannya menyembelih bayi laki-laki dari keluarga Bani Israel.

Raja, punya perdana menteri cerdas, didukung kekuatan ekonomi Qarun, tapi ternyata tidak bahagia.

Sepanjang hidup ia hanya berpikir bagaimana terus menjadi raja. Padahal sunnatullah, orang tidak mungkin hidup selamanya, apalagi jadi raja secara abadi.

Psikologi

Orang yang hidup dengan memaksakan kehendak, mungkin karena merasa cerdas, tidak akan pernah bertemu kebahagiaan.

Secara psikologi ia menghadapi kehidupan ini dengan standar yang tinggi, semua harus sempurna.

Orang seperti ini cenderung tidak memiliki toleransi terhadap kesalahan. Akhirnya ia tersiksa sendiri.

Apa-apa selalu dipandang secara kritis. Alasannya agar ia terus berkembang. Tetapi, yakinlah, hidup tidak bisa sebatas dengan kaki.

Baca Lagi: Negara Bahagia

Kita butuh hidup yang semua berperan, tangan, kaki, pikiran dan hati. Nah, orang yang tidak bisa biasa-biasa saja (berpikir utuh) cenderung akan terjungkal.

Bukankah Rasulullah SAW memberikan teladan. Ketika beliau mendatangi Aisyah, kemudian tidak ada makanan yang bisa dikonsumsi, Nabi SAW langsung memutuskan puasa.

Sebaliknya, jika tersedia makanan, beliau menikmati. Jadi, tidak perlu memeras otak untuk hal yang sebenarnya bisa kita sikapi secara tepat. Bagaimana, sepakat?*

Mas Imam Nawawi

 

Related Posts

Leave a Comment