Malam Minggu kali ini saya beserta kaum muda. Mereka adalah mahasiswa STIE Hidayatullah Depok.
Tiga hal yang jadi pokok kupasan kami bersua. Yakni tentang: berbicara, berorganisasi dan bergaul.
Berbicara termasuk soft skill penting, bahkan sangat menentukan. Sebab dakwah Islam yang pernah Nabi dan Rasul lakukan adalah mengajak, itu soal kemampuan berbicara.
Dan, kita tahu berbicara bukan soal apa yang orang ucapkan. Tetapi juga soal attitude terhadap lawan bicara, konten pembicaraan, dan cara mengutarakan.
Baca Juga: Jangan Tekan Tombol Snooze!
Bisa meniru gaya Gus Baha. “Ini penting saya utarakan.”
Boleh juga seperti Ustadz Adi Hidayat, “Perhatikan baik-baik, waktu kita sangat singkat.”
Secara teori mahasiswa bisa gunakan Google atau AI untuk mengetahui bagaimana menguasai teknik berbicara. Tetapi substansi yang harus kita pahami, bahwa berbicara itu penting.
Maka benar apa yang jadi konsen Ki Ju Lee dalam buku “The Dignity of Words” bahwa martabat manusia ada pada kata-katanya.
Semakin dini mahasiswa mengecamkan akan pentingnya menata kata dalam kesehariannya, semakin mudah ia membenahi pikiran dan merasa sangat butuh untuk membaca dan berdiskusi dengan teman-teman, dosen atau siapapun yang relevan.
Berorganisasi
Setelah berbicara, kaum muda, utamanya mahasiswa harus join ke dalam organisasi.
Berorganisasi merupakan aktivitas pilihan kesadaran para pendiri bangsa. Dan, Indonesia merdeka bukan karena perjuangan individu, tetapi kebangkitan kaum muda yang sadar pentingnya kebersamaan mengakhiri penjajahan.
Secara empirik mahasiswa yang berorganisasi akan semakin terlatih dalam membentuk keterampilan diri, seperti kepemimpinan, kerja sama tim dan kembali ke hal pertama, komunikasi (berbicara).
Terampil mengembangkan jaringan dan menguraikan gagasan. Orang bisa pintar luar biasa, tapi kalau tidak punya teman dan tidak bisa memaparkan gagasan kepada orang lain yang bisa memahami, kepintaran itu tidak banyak berguna.
Satu hal lagi, berorganisasi akan membantu mahasiswa mampu meningkatkan kemampuan interaksi sosial. Hal ini karena hanya dengan berorganisasi mahasiswa bisa keluar kampus dengan agenda yang terencana.
Latihan melakukan aksi terencana merupakan bekal penting untuk bisa berinteraksi secara sosial dengan misi perubahan.
Bergaul
Bergaul ini bukan hal yang serupa dengan berbaur. Dalam diskusi itu bergaul adalah bagaimana tetap pada identitas, namun cair bersama siapapun.
Baca Lagi: Menjadi Dewasa
Hal ini karena dalam realitanya, manusia itu sangat berbeda, beragam, watak dan karakternya.
Kalau kita tidak memiliki kelapangan dada, kedalaman visi, maka akan mudah “terdikte” oleh keadaan.
Misalnya, seorang mahasiswa dapat tugas membina remaja di tempat KKN. Ketika para remaja itu cuek, sang mahasiswa pun jadi lemas, loyo, tak bergairah menjalankan tugas. Ini namanya belum pandai bergaul.
Ustadz Hasyim HS, sebagai salah satu pendiri Hidayatullah berangkat tugas merintis pesantren ke Berau, Kalimantan Timur dengan satu bekal dari sahabatnya, Ustadz Abdullah Said sebuah kalimat. “Pahami orang lain jangan minta dipahami.”
Artinya bergaul membutuhkan keteguhan iman, kelapangan dada dan kedalaman visi. Orang yang akan sukses melakukan perubahan pada masyarakat, yang sebenarnya telah berhasil melakukan perubahan pada diri sendiri.
Boleh jadi alat ukur untuk mengetahui apakah diri sudah kuat atau tidak, bisa dites dengan bergaul.
Apakah tetap sholat, tetap mau berdakwah, ataukah justru seketika berubah orientasi dan pergi meninggalkan semua kebaikan yang sebenarnya banyak orang idamkan.*