Home Kisah Bertemu Kang Maman: Menulis, Mencintai, dan Membahagiakan
Menulis

Bertemu Kang Maman: Menulis, Mencintai, dan Membahagiakan

by Imam Nawawi

Ahad, 19 Januari 2025, saya merasa sangat beruntung bisa menghadiri bincang literasi bersama Kang Maman di Masjid Istiqlal, tepatnya di ruang Harmoni Istiqlal. Tiba dengan “persenjataan” pulpen dan buku catatan, saya tak sabar menanti penuturan Kang Maman tentang apa sebenarnya tujuan ia menulis.

Ketika salah satu peserta menanyakan pertanyaan yang sama, Kang Maman pun menjawab dengan lantang, “Saya menulis untuk membahagiakan orang tua dan orang yang saya cintai.”

Seketika, tepuk tangan riuh 350 peserta bergema, seakan membenarkan dan merayakan jawaban tersebut. Kang Maman memang selalu punya kata-kata yang membuat semua bisa “setuju” seketika.

Pelukan Ibu Kang Maman

Kang Maman menuturkan bahwa saat paling membahagiakan dalam menulis adalah ketika prosesnya telah usai.

Ia selalu memberi tahu ibunya jika sebuah buku barunya rampung. Respons sang ibu? Sebuah pelukan hangat yang membuat Kang Maman bersyukur.

Saat bercerita, suaranya bergetar dan nyaris tak sanggup melanjutkan—namun Kang Maman berhasil mengendalikan emosinya. Baginya, literasi dan kasih sayang ibu ibarat dua sisi koin yang tak terpisahkan.

Dalam buku Aku Menulis Maka Aku Ada, Kang Maman menegaskan bahwa menulis tak hanya tentang mengembangkan diri sendiri, tetapi juga mengajak orang lain menemukan kesenangan dan keterampilan menulis.

Baca Juga: Raih Berkah dengan Fokus Kebaikan

Energi itu pun lahir dari nasihat ibu kepada Kang Maman. Betapa energi itu memang tertanam kuat dalam diri Kang Maman.

Alih Wahana

Satu hal yang mencuri perhatian saya adalah konsep alih wahana, seperti disampaikan Kang Maman, merujuk pada pendapat Sapardi Djoko Damono.

Alih wahana berarti mengubah satu jenis karya seni ke bentuk lain. Kang Maman mempraktikkannya saat mengolah skripsinya di Kriminologi UI menjadi novel Re: dan Perempuan.

Saya pun merenung, semakin kita terbuka untuk mengeksplorasi berbagai bentuk penulisan, semakin terlatih pula kepekaan dan keluasan cara pandang kita. Tapi ini bukan perkara bisa karena tahu, karena menulis harus bisa mengerti, merasakan dan melakukan.

Pada akhirnya, menulis ibarat menyelam untuk mencari mutiara—menenangkan pikiran, membahagiakan hati, dan memberi energi pada setiap kata yang tertuang. Itulah alasan mengapa menulis tidak hanya kegiatan, melainkan perayaan jiwa untuk tumbuh, bertenaga dan berdaya, bahkan bercahaya.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment