Menjadi manusia memang tidak cukup hanya mampu bicara, tetapi juga harus mampu berkarya. Prestasi bisa diraih dengan kekuatan kognisi, namun prestasi yang akan abadi ialah karya nyata yang dirasakan luas manfaatnya oleh umat manusia.
Berkarya bisa dengan banyak cara, karena pada dasarnya setiap jiwa punya kamampuan yang tidak sama, mulai dari bakat, minat hingga potensi dan keahliannya.
Baca Juga: Pemuda Progresif, Siapa Dia?
Problem utamanya hingga saat ini justru pada hadirnya niat dan tekad, yang kadangkala timbul tenggelam tanpa pernah bisa dijadikan sebagai penggerak kesadaran, sehingga waktu yang berlalu, kerap kali berlalu tanpa sebuah karya, walau sederhana.
Pengetahuan misalnya, itu adalah produk dari daya pikir, daya cipta dan kreasi manusia. Oleh karena itu dalam bidang ilmu tertentu dikenal tokoh-tokohnya, seperti filsafat, matematika, ekonomi, politik, etika hingga hukum-hukum dalam agama (Islam).
Dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia, sosok seperti KH. Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Soekarno, KH. Agus Salim, M. Natsir termasuk Ustadz Abdullah Said adalah sosok manusia yang selama hidupnya penuh dengan karya yang dapat dirasakan oleh banyak manusia.
Oleh karena itu, nama mereka selalu hidup, hadir, bahkan terus menginspriasi kehidupan generasi ke generasi. Dengan kata lain, manusia yang hidup hanya untuk dirinya sendiri, tidak ada karya bagi kehidupan umat manusia, maka ia akan hilang bersama hari dikebumikan.
Berkarya dengan Tidiur
Sebagian besar kita mungkin tidak asing dengan kisah pemuda Ashabul Kahfi. Mereka merupakan pemuda yang berkarya melalui konsistensi tinggi dalam mengisi kehidupan.
Semakin kencang teror, intimidasi, persekusi, tribulasi dan lainnya semakin meneguhkan iman di dalam dada mereka. Karena konsistensi dalam iman, mereka Allah tidurkan hingga 3 abad lebih lamanya.
Artinya, berkarya tak harus bersifat dhohir semata. Dalam hal memegang teguh iman pun itu juga sebuah karya yang sangat luar biasa.
Berkarya juga bisa dengan kemampuan menulis. Jean-Paul Sartre (1905-1980 menyatakan, “Penulis yang terlibat tahu bahwa kata-kata adalah tindakan. Dia tahu bahwa menulis adalah mengubah. Seorang penulis sejati menulis karena berencana untuk mengubah.”
Dengan kata lain, semua keahlian pada dasarnya adalah gerbang untuk berkarya. Termasuk dalam hal politik. Ketika seseorang memilih poliktik sebagai jalan perjuangan, maka ia harus berpikir sedari awal, legacy politik apa yang hendak dihadirkan.
Belajar dari Ulama
Sebuah hadits riwayat Ahmad menegaskan. “Sesungguhnya Allah suka hampa yang berkarya dan terampil.”
Hal ini berarti Islam sangat mendorong umatnya penuh karya, memiliki skill dan keterampilan hidup, sehingga eksistensinya bisa memberi kebaikan, bukan malah sebaliknya, jadi beban.
Baca Lagi: Memulai Masa Depan
Agar diri termotivasi dalam berkarya, satu di antaranya dengan belajar dari para ulama. Seperti Imam Malik dengan kitab Al-Muwattho’. Kemudian Imam Syafi’i dengan kitab Al-Umm, Imam Ahmad dengan musnadnya. Atau seperti Hamka dengan tafsir dan novel-novel booming karyanya.
Jadi, kalau ingin hidup bahagia, bebas dari galau dan terus progresif, maka sedari sekarang pikirkanlah hal apa yang penting kita lakukan, agar nantinya keberadaan kita memberi manfaat luas bagi kehidupan melalui sebuah karya yang bermanfaat.
Oleh karena itu, mari berkarya. Berikan yang terbaik dengan kemampuan terbaik. Fokuskan sebagai ibadah kepada-Nya. Dan, biarlah Allah yang memberikan balasan terbaik atas karya-karya kita dalam hidup ini.*