Bicara tentang berpikir tentu kita kenal cukup banyak orang yang dikenal sebagai pemikir. Bicaranya retoris, datanya faktual dan analisisnya akademik. Namun, dunia tak butuh sebatas pemikir tapi juga eksekutor, alias orang yang bertindak.
Kacaunya situasi di dunia maya, konon karena begitu banyaknya lontaran dari para pemikir yang sebagian sudah tidak lagi berdiri di atas pondasi akademik, satu cara berpikir yang mengedepankan analisis data secara akurat dan mementingkan kejujuran, tetapi interes alias kepentingan sesaat.
Baca Juga: Era Peradaban Baru
Akibatnya dunia maya kita, terutama media sosial dipenuhi omongan-omongan orang yang mudah dirangsang emosinya, kemudian merasa mendapakan lahan untuk menumpahkan ketiadaan budaya berpikir di dunia maya dengan bahasa yang tidak sepatutnya.
Pada saat situasi sedemikian rupa, lantas muncul narasi bahwa kita harus membangun bangsa dan negara.
Ok, itu optimisme yang bagus. Tapi seharusnya kita mulai dengan mendidik diri ini bisa berpikir sekaligus bertindak. Agar tidak terlalu banyak slogan berhamburan dalam ruang-ruang kesadaran publik.
Islam
Islam adalah jalan hidup yang sempurna. Sedari awal, sebelum kaum saintis di Barat menolak doktrin gereja, semua ajaran Islam tidak ada yang bertentangan dengan akal pikiran manusia. Bahkan Islam sangat menghormati kedudukan akal.
Jadi wajar jika dalam peradaban ilmu dunia hingga kini, semua perkembangan sains yang ada tidak bisa lepas dari landasan, inovasi dan improvisasi yang dihasilkan para saintis Muslim yang begitu cemerlang karya-karyanya justru karena sangat dekatnya jiwa dan pikiran mereka dengan Alquran.
Ibn Sina, siapa tidak kenal, di Barat ia disebut Avicena, karyanya di bidang kodekteran telah memberi sumbangsih tak ternilai bagi bangkitnya masyarakat Barat dari hegemoni gereja yang anti ilmu.
Dengan kata lain, di abad semodern sekarang orang salah dalam memahami Islam adalah sebuah keterlaluan luar biasa.
Hanya saja – memang harus jujur – hari ini sebagian besar umat Islam belum mengenal betul Islam dengan baik, sehingga sebagian pemikiran dan perilakunya persis seperti awan yang tak tentu tempat dan posisi, karena sangat tergantung pada arah angin yang berhembus.
Tindakan
Pertanyaannya apa yang membedakan umat Islam kontemporer dengan umat Islam di masa Rasulullah SAW dan di masa para saintis Muslim menginspirasi dunia?
Jawabannya sederhana, tindakannya. Tindakannya yang tidak sama. Alqurannya sama, haditsnya sama, bahkan kiblatnya tetap. Tetapi, tindakannya jauh berbeda.
Tadi dalam Khutbah Jumat di Masjid Ummul Quro Depok, Ustadz Iwan Abdullah mendorong diri kita melakukan introspeksi diri. Introspeksi diri dalam satu hal saja, yakni Alquran.
Para ulama terdahulu kala Ramadhan tidak ada tindakan paling utama yang dilakukan setiap saat selama Ramadhan selain berinteraksi dengan Alquran. Sampai ada yang hatam 60 kali dalam sebulan Ramadhan. Ada yang 20 kali. Prinsipnya satu, tindakannya benar-benar membuktikan bahwa pikirannya benar-benar dilandasi oleh Alquran.
Belum lagi dalam hal menulis. Prof Hamid Fahmi Zarkasyi menerangkan bahwa Ath-Thobari menulis 40 halaman setiap hari selama 40 tahun. Jadi selama hidupnya yang 57 tahun beliau telah menulis 584.000 halaman.
Baca Juga: Filsafat Kematian
Di sinilah Ustadz Abdullah Said melalui Pesantren Hidayatullah mengajak umat Islam untuk mengamalkan atau menjadikan tindakan apa yang menjadi keyakinan, sehingga keindahan dan keharuman Islam itu bisa dirasakan dan dibuktikan oleh orang lain.
Terbayang apa yang akan terjadi kalau kesadaran di atas massif dalam diri umat Islam? Tidak akan ada lagi orang yang suka berdebat apalagi saling menyalahkan. Kecuali yang benar-benar tidak pernah mau berpikir dan bertindak atas dasar keimanannya. Allahu a’lam.
Mas Imam Nawawi_Ketua Umum Pemuda Hidayatullah