Hidup akan terus penuh dengan tantangan. Untuk itu manusia penting memahami dengan sebaik-baiknya apa sebenarnya akar dari situasi sekarang. Apa saja yang memengaruhi cara berpikir dan bertindak banyak orang. Tanpa kesadaran itu, kita akan semakin kehilangan relevansi. Boleh jadi, itu yang akan jadi sebab kapasitas berpikir kebanyakan manusia akan semakin menyusut. Kemudian tidak lagi mampu membaca realitas. Pilihannya jadi singkat, mau berpikir atau jadi membusuk.
Tidak mengetahui akar masalah adalah bahaya laten yang sering terabaikan. Ketika kita hanya melihat permukaan, solusi yang terpikir cenderung bersifat temporer dan tidak menyelesaikan inti persoalan.
Misalnya, dalam sebuah perusahaan yang mengalami penurunan produktivitas, manajemen mungkin langsung memutuskan untuk memberlakukan jam kerja lebih panjang.
Namun, jika akar masalahnya adalah kurangnya motivasi karyawan akibat lingkungan kerja yang tidak kondusif, kebijakan tersebut justru akan memperburuk situasi. Tanpa pemahaman mendalam tentang penyebab sebenarnya, upaya perbaikan hanya akan menjadi sia-sia. Saya rasa ini bukan ancaman, tapi semacam aksioma.
Ilustrasi lain dapat kita lihat dalam isu kemacetan lalu lintas di kota besar. Pemerintah mungkin membangun lebih banyak jalan layang atau memperlebar jalan sebagai solusi cepat.
Namun, jika akar masalahnya adalah buruknya manajemen transportasi publik atau pola urbanisasi yang tidak terkendali, pembangunan infrastruktur baru hanya akan menunda kekacauan.
Kemacetan akan kembali terjadi karena sumber masalah utama tidak tersentuh. Oleh karena itu, penting untuk meluangkan waktu mencari akar masalah sebelum mengambil tindakan, agar solusi yang dihasilkan benar-benar efektif dan berkelanjutan.
Kapasitas dan Berpikir
Secara bahasa, kapasitas adalah ruang dalam diri untuk menampung dan mengolah informasi secara mendalam. Keterampilan ini mutlak kita perlukan, terutama pada era digital, masa AI seperti saat ini.
Sementara berpikir adalah proses menganalisis, memahami, serta menciptakan solusi dari data yang ada. Jadi, kita tidak cukup hanya tahu bahwa ini data. Walakin, bagaimana mengolah dan menciptakan solusi dari data yang kita punya, itulah kebutuhan mendesak sekarang.
Nah, lebih dalam pada era digital seperti sekarang, kedua hal ini menjadi kunci utama untuk bertahan dan berkembang. Apakah itu sulit?
Sebagai Muslim, kalau kita sering berinteraksi dengan Alquran, hal itu tidak sulit. Karena memang Allah SWT meminta kita tekun berlatih berpikir secara mendalam. Kalimat, apakah kamu tidak berpikir, tidakkah kamu memerhatikan, begitu banyak kita temukan dalam wahyu akhir zaman itu. Pertanyaannya, apakah kita memahami dan mampu mengamalkannya dengan baik, secara konsisten dan tajam?
Kapasitas Elon
Sekarang, mari kita kembali ke alam empiris, bagaimana kapasitas berpikir itu ada dalam diri seseorang.
Sebagai contoh, Elon Musk adalah sosok yang memiliki kapasitas berpikir progresif.
Ia tidak hanya melihat dunia apa adanya, tetapi juga membayangkan apa yang bisa terjadi di masa depan. Dari Tesla hingga SpaceX, Musk berhasil mengubah cara manusia memandang teknologi dan eksplorasi luar angkasa. Kapasitas berpikirnya tumbuh karena keingintahuan besar dan ketekunan dalam belajar tanpa henti.
Lalu, bagaimana dengan kita sebagai rakyat Indonesia?
Di tengah arus informasi media massa yang berjalan 24 jam tanpa henti, tantangan berpikir semakin kompleks. Berita hoaks, framing, hingga opini yang divisualisasikan sering kali memengaruhi cara pandang kita.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membangun kapasitas berpikir kritis agar tidak mudah terombang-ambing. Kalau tidak, seperti orang bilang, semakin sering menatap HP, kian membusuk otak (brain root) dan hati kita.
Caranya?
Langkah pertama adalah selalu mempertanyakan setiap informasi yang diterima.
Cari sumber valid, bandingkan sudut pandang berbeda, dan hindari reaksi impulsif. Jangan biarkan media membentuk opini kita tanpa analisis mendalam.
Selain itu, latih empati dalam berpikir. Pahami bahwa setiap isu memiliki dimensi manusia di baliknya. Jangan seperti orang-orang yang gagal membaca, melihat ada tagar tertentu, ia tidak masuk ke substansinya. Malah mengajak membuat tagar tandingan. Memang seperti itu kah yang bisa menjawab tantangan ini?
Kembali ke soal empati. Misalnya, berita tentang kemiskinan bukan sekadar angka statistik, tetapi juga cerita hidup nyata. Era digital menuntut kita untuk lebih bijak dalam menyikapi informasi. Bangun kapasitas berpikir dengan membaca, belajar, dan merenung secara konsisten. Puncaknya kita mau bergerak membantu orang miskin, yang tidak saja butuh makan, tetapi juga pendidikan.
Indonesia butuh pemikir-pemikir yang mampu melihat lebih jauh ke depan demi masa depan yang lebih baik. Siapa kah calon pemikir itu?
Daripada menuntut orang lain, mengapa tidak kita mendesain diri kita untuk jadi pemikir itu. Mungkin tak bisa langsung jadi saat ini.
Tetapi, kita bisa memulai latihan 10 ribu jam dari sekarang. Kalau kita terus berlatih berpikir, peduli dan bergerak, kapasitas kita akan meningkat tajam. Menjadi problem solver bagi bangsa dan negara, insya Allah.
Ingat, Indonesia bisa merdeka dari penjajahan Belanda karena adanya kaum muda yang kapasitas berpikirnya mengalahkan bangsa Eropa. Kedua dari mereka adalah Soekarno dan Hatta.*