Leiden is Lijden, begitu ungkapan orang lama Belanda. Artinya “Memimpin itu menderita”. Kasman Singodimedjo mengucapkan itu kala bersama Mohammad Roem dan Soeparno mengunjungi kediaman Haji Agus Salim di Jakarta, 1925. Menderita itu mungkin maksudnya tulus dan totalitas melayani.
Sebagaimana sejarah menulis, semua orang yang bertemu itu paham, bahwa Indonesia akan maju, jika pemimpinnya memahami penderitaan rakyat. Sebaliknya, pemimpin yang tidak memiliki empati, akan menyengsarakan kehidupan rakyat.
Empati adalah fondasi penting dalam kepemimpinan yang efektif, karena memungkinkan pemimpin memahami dan merespons kebutuhan rakyatnya.
Ketika empati hilang, pemimpin cenderung melihat rakyat sebagai objek statistik atau alat politik, sehingga kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak relevan atau bahkan merugikan kelompok tertentu.
Kebijakan menjadi tidak inklusif, respons terhadap krisis lambat, korupsi meningkat, dan kepercayaan publik merosot. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat terancam, ketimpangan sosial semakin lebar, dan stabilitas negara pun terganggu.
Untuk mencegah bahaya ini, pemimpin harus secara aktif mendengarkan suara rakyat dan meningkatkan kesadaran sosial melalui pendidikan empati.
Transparansi serta akuntabilitas juga diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan berpihak pada kepentingan umum.
Jika belakangan banyak orang melihat kebijakan pemerintah, seperti Danantara jadi objek perbincangan, karena mereka belum yakin. Belum yakin para pemimpin itu menjiwai Leiden is Lijden.
Pelayanan yang Berkesan
Pelayanan terbaik bukan sekadar menjawab pertanyaan, tetapi memberikan solusi yang nyata. Itulah pelajaran yang saya dapat dari Anies Baswedan dalam sebuah pengalaman di Singapura yang ia ceritakan dalam sebuah video di RS Ummi Bogor. Saya saksikan videonya pada pagi ini (26/2).
Anies mengisahkan momen saat ia mendarat di Singapura pukul 01.00 dini hari, tetapi baru bisa terbang ke Jakarta pukul 08.00 pagi. Menyadari waktu tunggu yang cukup lama, ia mencari solusi dengan bertanya ke “pusat informasi” di bandara apakah ada hotel transit yang tersedia.
Jawaban yang ia terima sederhana namun penuh makna: di terminal tersebut hotel sudah penuh, tetapi petugas tidak berhenti di situ.
Mereka memberi rekomendasi naik kereta dan pindah ke terminal lain untuk mendapatkan hotel yang masih tersedia.
Anies pun mengikuti saran tersebut. Ketika tiba di lobi hotel yang dituju, ternyata ia sudah ditunggu.
Dari pengalaman itu, Anies menyadari bahwa pelayanan terbaik bukan hanya tentang memberikan informasi, tetapi juga mencarikan jalan keluar bagi mereka yang membutuhkan.
Inilah yang harus kita tingkatkan. Bukan sekadar menjawab pertanyaan, tetapi memastikan orang yang bertanya benar-benar menemukan solusi, begitu Anies menegaskan.
Kisah sederhana ini mengingatkan kita bahwa pelayanan sejati hadir dari empati dan inisiatif, bukan sekadar menjalankan tugas.
Seorang petugas informasi bisa saja hanya mengatakan, “Maaf, hotel sudah penuh”. Namun mereka memilih untuk membantu lebih jauh, memastikan seseorang mendapatkan solusi nyata.
Di sinilah esensi dari pelayanan yang berdampak: hadir dengan kepedulian, bertindak dengan inisiatif, dan memastikan setiap orang yang bertanya tidak pulang dengan kebingungan, tetapi dengan jawaban yang benar-benar bisa diandalkan.
Mulai Melayani
Pemimpin, pada level rendah apalagi tinggi harus menyadari pentingnya melayani itu. Langkah itu penting agar seseorang tak sebatas punya jabatan, tetapi bisa memberi kebermanfaatan.
Menderita kata Kasman, bukan soal kita jadi sakit. Tetapi, kita ingin memberikan yang terbaik bagi yang kita pimpin.
Kesadaran itu penting agar kita tidak menjadi pemimpin yang mentalnya justru anak ingusan, kemana-mana, mau apa dan seterusnya ingin selalu dilayani. Tapi ogah melayani.*


