Belakangan banyak orang menyoroti soal pemilih rasional. Tapi saya malah berpikir mengapa tidak politisi rasional. Mungkin sebagian melihat peluang itu amat kecil. Akibatnya, jadilah berkhayal politisi rasional.
Politisi sekarang, sebagiannya mudah sekali menjadi irasional.
Jiwanya telah terbeli oleh “kekuatan” politik praktis, sehingga yang ada bagi otak dan lidahnya adalah mengelu-elukan calonnya, yang publik nilai telah “gila.”
Ia buta terhadap kekurangan junjungannya. Sebaliknya, sangat peka dengan kelemahan lawan alias junjungan orang lain yang tak sama dengan dirinya.
Sebagian pihak memandang, politisi menjadi irasional karena dia loyal. Pertanyaannya apakah mungkin bagi akal loyal pada irasionalitas?
Jawabannya simpel, apa yang tidak boleh ketika jiwa dan pikiran politisi seutuhnya telah mengorientasikan hidup untuk uang. Maka tuhan dia adalah fulus.
Baca Juga: Dilema Politisi Muslim
Padahal hidup menetapkan hukum yang jelas, siapa berbuat baik, itu berarti ia telah berinvestasi kebaikan yang penting bagi masa depannya.
Sebaliknya, siapa yang melakukan hal buruk, termasuk irasional dalam hidup, maka ia telah melakukan investasi yang akan mendatangkan penyesalan.
Catat
Rakyat memang harus cerdas. Sebagai pemilih juga mesti rasional.
Dan, rasionalitas itu harus mengarah pada pemahaman siapa-siapa sosok politisi yang irasional.
Politisi yang akal dan lidahnya hanya bisa memuja kandidat yang dipilih dan sangat mahir menghujat junjungan orang lain.
Orang-orang seperti itu hanya tahu bahwa semua yang dari tuannya itu enak, lezat dan benar. Meskipun itu kebodohan, kezaliman dan kebohongan.
Rakyat harus paham, siapa politisi yang tidak punya integritas seperti itu. Dan, mana politisi yang sejati, yang paham apa itu derita rakyat.
Jauhi
Terhadap politisi yang rusak secara moral, etika dan spiritual, sebaiknya kita menjauhinya.
Hal itu karena mereka yang irasional adalah kelompok manusia yang tak pernah mau merasakan apapun dengan batinnya.
Akibatnya ia nir empati, nir kepekaan, dan tentu saja akhirnya menjadi biadab.
Mungkin itu fenomena belakangan ini, yang mana kita mudah menemukan orang begitu pandai bicara, punya gelar terpelajar, tapi perilakunya benar-benar meresahkan dan tidak ada gunanya.
Baca Lagi: Galabah dari Dunia Kampus
Ia benar-benar bak makhluk aneh, yang hanya bisa bicara, tak mampu mendengar. Padahal daun telinganya masih ada. Itulah politisi yang buta terhadap kebenaran, tuli terhadap peringatan.
Namun beringas kalau soal kekayaan, makanan dan kedudukan.*