Apakah ada manusia yang bisa bebas dari ketaatan menjalankan aturan dalam kehidupan ini? Jangankan soal memimpin, urusan jalan dengan kendaraan saja, aturan itu ada dan karena itu harus dijalankan.
Perhatikanlah di sekeliling kita, saat seseorang hendak melakukan perjalanan, kemudian berjumpa dengan perempatan yang di sana tidak ada lampu merah, maka kepada Pak Ogah (sukarelawan yang mengatur jalan) semua pengguna jalan akan taat pada “aturan.”
Alasannya sederhana, karena Pak Ogah itu sedang mengatur lalu lintas dengan kemampuannya agar satu dengan pengendara lain dapat meneruskan perjalanan dengan selamat. Tak ada gesekan, apalagi tabrakan hingga pertengkaran.
Dalam kata yang lain, aturan itu mutlak diperlukan dalam kehidupan dunia ini. Tak satu pun manusia bisa lepas dari yang namanya aturan, jenderal bahkan presiden sekalipun.
Baca Juga: Masa Muda Harus Berprestasi
Oleh karena itu secara lebih komprehensif dan visioner, Allah turunkan Alquran sebagai pedoman bahkan dihadirkan sosok Nabi sebagai panduan bagaimana menjalani kehidupan dengan pedoman Alquran itu sendiri. Sebuah jalan hidup yang dengan taat pada aturan-Nya akan melahirkan kebaikan dan kemaslahatan.
Jalankan Aturan
Terlepas dari perdebatan yang mencuat di media soal Partai Demokrat yang KLB dan yang sah, kita bisa mendapat pelajaran bahwa memimpin ada mekanisme, ada aturan, bahkan ada keelokan serta kepatutan.
Namun dunia memang memberikan juga kesempatan kepada jiwa yang congkak dan arogan untuk berbuat sesuai jalan pikirannya yang ambisius. Dan, seperti hukum kehidupan, ada konsekuensi besar yang harus ditanggung oleh jiwa yang rapuh seperti itu.
Iblis begitu bangga saat dia menolak perintah Tuhan sujud kepada Nabi Adam. Ia berpikir bahwa dengan menyampaikan argumentasi berupa fakta bahwa dirinya diciptakan dari api dan Adam dari tanah, Tuhan akan mengakui eksistensinya. Faktanya tidak.
Tuhan amat benci bahkan murka kepada jiwa yang tidak mau diatur apalagi hanya berdasarkan pada pandangan-pandangan dangkal materialistis seperti Iblis di atas.
Terkutuk Iblis dan terlaknat dia hingga Tuhan mengusir dan menyuruh manusia menjadikan ia bersama setan sebagai musuh.
Memimpin dari dahulu sejatinya bukan siapa punya apa, tetapi siapa punya kedekatan sejauh mana dengan Tuhan, sehingga ucapannya, perilakunya, dan sepak terjangnya menjadi kebaikan yang setiap jiwa yang mengamatinya semakin yakin kepada keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala.
Jadi, jika kemudian hadir masa dimana manusia merasa absah memimpin karena ia hebat, berpangkat, didukung orang-orang kaya, maka sungguh jiwa yang demikian hanya akan mengulang siklus terlaknatnya Iblis, tenggelamnya Fir’aun dan dibenamkannya Qarun ke dalam perut bumi. Jadi, hiduplah bersahaja dan jalankanlah aturan yang Tuhan haruskan.
Mari Renungkan
Namun, seperti kondisi alam yang Tuhan terus jadikan silih berganti datang siang dan malam, akan selalu ada manusia yang tidak mau belajar dari sejarah.
Jiwanya silau oleh ilusi kebahagiaan. Rasionya lumpuh di depan bayangan jabatan dan kekayaan. Bahkan nuraninya terpasung di depan pengetahuan tentang iman, kebenaran dan kehidupan.
Baca Juga: Menciderai Akal Membunuh Nurani
Orang yang seperti itu akan mudah sekali menampakkan ketidakberpikirannya dalam kehidupan. Ia merasa semua bisa diselesaikan dengan harta dan kedudukan.
Ia lupa, ya, sekali lagi lupa, tentang Fir’aun yang derajat dirinya pun belum sampai pada maqom sebagai raja yang sesungguhnya. Namun ia dengan kedunguannya berpikir bahwa ke depan, dengan kejahatan yang dilakukan, semua akan baik-baik saja. Manusia, manusia.
Mas Imam Nawawi_Perenung Kejadian