Apa hal yang paling penting untuk keberhasilan suatu program, organisasi hingga pemerintah? Jawabannya adalah keahlian: kompetensi dan integritas. Sayangnya, meski hal ini secara gamblang juga didorong oleh Hadits Nabi SAW, banyak pemimpin yang terkesan ragu menerapkannya, alias rendah komitmennya.
Sebagian dari mereka merasa kedekatan lebih penting dari keahlian. Pada sisi yang lain ada yang beranggapan kepatuhan calon pemimpin bawahannya lebih utama daripada keahliannya.
Alhasil, banyak orang duduk dalam posisi memimpin, yang secara langsung tampak tak mampu mengemban amanah.
Dampaknya jelas, organisasi bahkan pemerintahan sering membuat blunder. Jabatan pun menjadi hal yang sangat ingin terus jadi miliknya.
Jika itu terus terjadi, maka kelambanan, kekacauan, bahkan kehancuran sebuah urusan, tinggal menanti waktu.
Pemimpin yang tak ahli, tidak kompeten, biasanya tidak punya inisiatif progresif. Ia bahkan tidak memiliki semangat belajar, sehingga lambat dalam adaptasi.
Lebih dari pada itu, pemimpin yang tidak kompeten, empati pun tidak punya. Ia tidak bisa dan bahkan tidak mau memahami dan merasakan apa yang orang lain alami. Baginya, “yang penting gua untung”.
Pentingnya Amanah
Nabi SAW bersabda. “Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat.” Mendengar itu seorang Arab Badui bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu?”
Nabi SAW pun bersabda,” Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (HR. Bukhari).
Tidak Profesional
Bahasa lebih kekinian, orang yang tidak lagi kompeten, biasanya tidak profesional.
Tentu kita tidak ingin memberikan vonis atas sebuah fakta kekinian. Tapi menarik kolom Tempo: “Profesionalisme Vs Ambivalensi Tugas Polisi” yang ditulis oleh Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri periode 18 Februari 2021 – 27 Maret 2023, Arief Sulistyanto.
Dari pandangan itu, saya menangkap bahwa kepolisian kini makin terseret dalam peran di luar tugas intinya. Kesimpulan sementaranya adalah semakin kurang atau mungkin tidak amanah, semakin tidak profesional, bukan?
Institusi penting itu seringkali menjadi alat agenda politik pemerintah atau melegitimasi kebijakan yang kurang adil bagi masyarakat, seperti dalam pengamanan proyek kontroversial atau keterlibatan berlebihan dalam kegiatan sipil.
Pelebaran peran ini mencerminkan ambivalensi tugas polisi yang sudah ada sejak dulu: sebagai pelayan masyarakat di satu sisi, namun juga penegak hukum yang koersif di sisi lain.
Kontradiksi ini menciptakan tantangan fundamental bagi polisi untuk membangun kepercayaan publik di tengah tugas yang seringkali bertentangan.
Tidak Maksimal
Dalam konteks yang lebih spesifik, kadang ada pemimpin merasa punya hak bertanya, mengevaluasi. Akibatnya ia hanya fokus pada hal yang kadang ia tidak tahu kapan momentum bertanya dan evaluasi. Alih-alih membawa dampak baik, bawahannya merasa pemimpinnya seperti senang mengorek-orek kesalahan.
Satu sisi ada benarnya, kontrol penting untuk berlangsung sebaik mungkin. Tapi kontrol yang tinggi akan memunculkan kesan ketidakpercayaan pemimpin terhadap anak buah.
Lebih jauh, jangan-jangan pemimpin level nilai yang suka rapat pekanan itu bukan karena sadar akan tugasnya. Tapi lebih karena ia terjebak dalam kebiasaan lama, yang memegang teknis, sehingga sulit melepaskan kebiasaan itu.
Bahkan boleh jadi ia merasa nyaman dan percaya diri dengan detail operasional ketimbang dalam perumusan strategi yang lebih abstrak dan membutuhkan pemikiran jangka panjang.
Dan, sangat mungkin, semua itu terjadi, karena ia gagal mengembangkan kapasitas di bidang strategis.
Dari semua fakta itu kita dapat mengambil pelajaran. Memilih pemimpin harus berlandaskan kapasitas, kompetensi dan integritas. Tanpa itu, waktu bergulir dan kemajuan tidak hadir. Visi mungkin hebat, tapi visi yang tidak melahirkan aksi yang relevan, masa depan akan sulit terwujud sesuai harapan. Walakin kita masih punya kesempatan. Mari gunakan!*