Malam begitu sengap. Hujan yang begitu deras di awal gelap menjadikan penghuni bumi lelap dalam mimpi. Namun momen itu sebenarnya waktu yang tepat untuk manusia bangkit. Ingkah memberi makan hati di waktu yang kaya berkah.
Menjatah makan bagi hati, bukan makan hati. Makan hati adalah ungkapan tentang betapa sakitnya seseorang menerima realitas atau perilaku orang lain yang begitu buruk.
Sedangkan mengagihkan makan hati berarti kita sadar untuk menghadiahi perhatian, memenuhi kebutuhan hati akan nilai-nilai keimanan.
Saat tubuh lapar, orang segera sadar dan karena itu langsung berupaya untuk mencari makan. Namun ketika hati yang lapar tak banyak orang bisa menyadari dengan seketika. Apalagi kalau yang dominan selama ini dalam hidupnya justru hawa nafsu.
Hawa nafsu yang membuat kita begitu cinta kepada harta, lupa saudara, tak ingat keluarga. Merasa gagah karena kendaraan dan aksesoris pada jasad. Bahkan tak ingat lagi kita sebenarnya “berhutang budi” kepada Allah Ta’ala.
Teladan Ulama
Oleh karena itu kita perlu membaca sejarah, terutama sejarah para ulama. Tidak saja pada tahapan bagaimana mereka sungguh-sungguh menuntut ilmu. Walakin juga tentang bagaimana mereka mengisi malam.
Catatan tentang mereka memberikan sebuah penjelasan bahwa para ulama selalu bangkit memberikan makan pada hati. Mereka merasa butuh untuk mengisi malam dengan sholat, kemudian berdoa, membaca Alquran dan bermunajat kepada Allah.
Mereka mengupayakan itu karena memang Allah subhanahu wa ta’ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam. Allah “menyapa” siapa yang berdoa kepada-Nya akan mendapatkan pengabulan. Siapa yang memohon ampun kepada-Nya akan mendapatkan pengampunan dan siapa yang meminta kepada Allah maka akan Allah berikan permintaannya.
Suatu waktu Mu’adz bin Jabal mendekati ajal. Iya lalu berdoa, “Ya Allah, Engkau tahu aku tidak mencintai dunia ini untuk sekedar mengalirkan sungai atau menanam pepohonan.
Baca Juga: 3 Hal Penting untuk Masa Depan
Namun aku cinta dunia ini untuk aku isi dengan menahan lapar dan haus di siang hari, menghidupkan malam dengan shalat dan mendekati para ulama dengan berkendara untuk menghadiri majelis dzikir serta mendampingi orang-orang yang memisahkan perkataan yang baik lalu buruk diucapkan, seperti orang yang memisahkan kurma yang baik lalu baru dimakan.”
Demikianlah teladan daripada orang-orang yang terdahulu, yang mereka betul-betul sadar bahwa hati mereka butuh makanan sebagaimana perut kita memerlukannya.
Getaran
Salah satu cara yang paling mudah untuk melimpahi makan hati adalah dengan membaca Alquran.
Alquran itu adalah petunjuk dan hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang betul-betul hatinya ingin mendapatkan cahaya.
Sungguh beruntung orang yang ketika membaca Alquran hatinya bergetar. Akalnya bertambah cemerlang dan akhlaknya menjadi baik.
Allah subhanahu wa ta’ala sendiri menjelaskan bahwa Alquran ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberikan kabar gembira bagi orang yang beriman lalu mereka mengerjakan amal saleh dan bagi mereka pahala yang besar. Perhatikan Surah al Isra ayat ke-9.
Baca Lagi: Memaslahatkan Teknologi AI
Seperti mata kita yang memerlukan cahaya maka begitupun hati juga mementingkan kirana yang agung yaitu Alquran.
Oleh karena itu sangat beruntung orang yang dalam kesunyian selalu berupaya untuk berteman dengan Alquran. Orang yang seperti itu insya Allah orang yang baik karena dia memberikan nutrisi untuk hatinya.*