Rasa syukur, Alhamdulillah, itulah yang patut kuucapkan. Atas pertolongan-Nya pada bulan kemuliaan Ramadhan, masih sempat dan bisa berbagi kemuliaan dengan ilmu. Tentu saja ilmu yang sangat terbatas.
Hal itulah yang kulakukan kemarin bersama dosen bahasa Inggris Unindra, Dr. Nurhayati, M.Pd yang berangkai dengan kegiatan buka bersama para mahasiswa dan mahasiswi Pesmadai di Ciputat, Tangsel (14/4).
Dr. Adian Husaini dalam artikelnya berjudul “Membangun Tradisi Ilmu di Bulan Ramadhan” memberikan penegasan betapa pentingnya majelis ilmu.
Baca Juga: Ilmu Masa Kini untuk Apa?
“Salah satu amal yang sangat tinggi nilainya di hadapan Allah adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan urusan keilmuan, baik menuntut ilmu, mengajarkannya, atau segala aktivitas yang terkait dengan pengembangan keilmuan,” tulisnya.
Tambah syukur lagi karena selama Ramadhan denyut mengedukasi umat melalui membaca, menulis, bahkan menginformasikan kebaikan gerakan zakat, infak dan sedekah dapat kulakukan dengan sangat baik.
Meski pernah dalam satu waktu terserang panas, masih Allah berikan kemampuan memahat informasi, gagasan, setiap hari.
Syukur, Alhamdulillah, setiap hari nyaris tidak kurang dari 15 tulisan yang bisa kubuat setiap harinya.
”Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS Al-Mujadilah:11).
Teladan dari Dr. Nurhayati
Rasa suka cita karena syukur juga mengalir deras kemarin, kala mendapatkan eksplanasi lengkap dari sosok Dr. Nurhayati.
Secara fisik, ibu dari dua anak itu memiliki keterbatasan. Kakinya tidak bisa berjalan normal.
Baca Lagi: Tetaplah Menuntut Ilmu
Namun, dari keterbatasan itulah ia memiliki rekognisi akan pentingnya ilmu, sehingga ia terus berusaha belajar dengan giat.
Motivasi keilmuan itu semakin kuat ketika sang ayah dari Dr. Nurhayati kadang mendapat cemoohan dari kanan kiri.
“Anak perempuan yang seperti itu (ada kekurangan) buat apa sekolah tinggi-tinggi.”
Sang ayah menjawab tenang. “Karena anak saya begitu, saya rasa dia butuh sekolah yang baik agar kelak bisa bekerja dengan kecerdasan. Sebab kalau fisik, jelas dia akan kalah. Berdiri sebagai pelayan toko, itu tidak mungkin anak saya lakukan,” tutur Bunda Nurhayati, begitu para mahasiswa biasa memanggil dengan tanpa beban.
Kisah itu sengaja Bunda Nur hadirkan agar para mahasiswa memiliki percaya diri tinggi. Kalau dirinya yang terbatas saja mampu menaklukkannya dengan ilmu, mengapa tidak dengan anak-anak dan mahasiswa yang tidak memiliki kekurangan.
Meski begitu, Bunda Nur berulang kali mengatakan bahwa dirinya seperti itu adalah bentuk kasih sayang Allah. Hanya Allah sebaik-baik pemberi.
Bagiku, ungkapan seperti itu tidak akan lahir kecuali atas kuatnya iman dan ilmu dalam hati.
Belajar dari Ulama
Ilmu sangat penting luar biasa.
Ibn Abbas r.a. berkata: ”Mendiskusikan ilmu pada sebagian malam lebih saya sukai daripada menghidupkan malam itu.”
Imam Syafii rahimahullah berkata: ”Menuntut ilmu adalah lebih utama daripada shalat sunnah.” (NB. Hadits shahih dan hasan serta pendapat sahabat dikutip dari Kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Terjemahan oleh Drs. H. Moh. Zuhri, penerbit Asy-Syifa).
Itulah yang Dr. Adian Husaini rangkum dalam artikelnya.
Kondisi itu pula yang terus menjadi energi para ulama. Seperti Prof. Wahbah Az-Zuhaili, penulis Tafsir Al-Munir, dalam sehari semalam ia mengatakan tidak kurang dari 16 jam beliau gunakan untuk membaca dan menulis.
Jadi, mari sempurnakan Ramadhan dengan kesadaran terus menuntut ilmu.
Sebab Islam itu satu antara iman, ilmu dan amal. Kita tahu bahwa target puasa Ramadhan adalah takwa. Takwa akan tegak dengan ilmu yang memadai.*