Home Artikel Benarkah Politisi Banyak yang Miskin Nilai?
Benarkah Politisi Banyak yang Miskin Nilai?

Benarkah Politisi Banyak yang Miskin Nilai?

by Mas Imam

Bicara politik di Indonesia tampaknya nyaris semua sepakat, bahwa nilai di dalam praktik kehidupan berpolitik di Tanah Air tidak lagi diindahkan. Jadi wajar jika kini dihadirkan pertanyaan, benarkah politisi banyak yang miskin nilai?

Pertanyaan itu penting untuk selanjutnya memahami mengapa ungkapan tak ada musuh abadi di dalam politik yang ada adalah kepentingan abadi, menjadi satu hal yang sejatinya dinilai nalar ganjil, namun realitanya terus terjadi.

Fakta terbesar dapat dilihat dari pesta demokrasi pada 2019 lalu dimana kubu yang berkompetisi atau tepatnya bertarung dalam Pilpres (Prabowo-Sandiaga dengan Jokowi-Ma’ruf), kini memilih berkoalisi dan mesra di dalam pemerintahan.

Melihat realitas ini dalam dimensi nilai, integritas dan konsistensi, tentu telah terjadi ketidakkonsistenan dan karena itu integritas aktor politik menjadi patut dipertanyakan.

Baca Juga: Menanti Peran Politisi dan Partai Umat Islam

Akibatnya, masyarakat kian sadar bahwa di dalam politik memang tidak diperlukan nilai, yang penting kepentingan tercapai. Dalam hal ini, penting masyarakat membaca dan menyadari bahwa nilai dalam politik, sedikit banyaknya, telah “dilenyapkan.”

Relasi Kebaikan

Karena politik adalah bagian tak terpisahkan dalam perjalanan panjang peradaban umat manusia, sudah semestinya politik yang dibangun dilandaskan pada nilai-nilai luhur dalam kehidupan.

Dalam kata yang lain, politis Muslim hendaknya sadar bahwa terjun di medan politik tak berarti harus kehilangan identitas keagamaannya.

Sebab dalam Islam, menjalin hubungan horizontal secara sosial memang didorong dan ditekankan.
Bahkan kalau urusannya benar dalam timbangan syariat, sikap saling mengasihi dan mencintai perlu dihadirkan.

Suatu waktu, Usamah bin Syarik meriwayatkan bahwa dirinya bertemu Rasulullah SAW kemudian bertanya perihal perkara apa yang terbaik dan dianugerahkan oleh Allah kepada manusia.

Rasulullah SAW menjawab, “Anugerah berupa akhlak yang baik.” (HR. Ibn Majah).

Artinya, dasar dari hubungan dengan sesama manusia (hablum minan nas) yang penting juga hidup dalam ruang kesadaran dan gerak para politisi Muslim adalah akhlak.

Kekuatan akhlak ini mungkin tidak memberi keuntungan pragmatis, tetapi ia mengantarkan seseorang pada kekokohan mental paling kokoh, yang pada akhirnya, kepemimpinan dan kebijakan yang dihadirkan dari kiprah politiknya tak semata kala berkuasa, tetapi terus hidup dari generasi ke generasi.

Lihatlah bagaimana kebijakan politik Umar bin Khathab, Umar bin Abdul Aziz, Sultan Muhammad Al-Fatih yang sampai saat ini masih segar untuk dikaji, diteladani bahkan diterapkan.

Padahal, era kala mereka menjadi pemimpin politik, media tidak seperti sekarang, penulis tak seperti saat ini, tetapi kebaikan mereka membanjiri ruang jagat maya.

Pandemi Terus Korupsi

Indikasi terkuat bahwa Indonesia sedang mengalami praktik politik yang miskin nilai adalah terjadinya korupsi di masa pandemi. Tidak itu saja, koruptor pun dapat banyak remisi di masa pandemi. Bahkan mantan napi korupsi pun menduduki jabatan tinggi dalam BUMN.

Dalam kata yang lain, sejatinya rakyat tidak mendapatkan layanan terbaiknya, bahkan rakyat harus berjuang sendiri untuk sehat dan survive. Masyarakat belum seutuhnya terlindungi secara ekonomi, sosial dan kesehatan.

Dalam buku Negara dan Politik Kesejahteraan Reorientasi Arah Baru Pembangunan karya A. Muhaimin Iskandar dijelaskan dengan terang bahwa amat penting memastikan kehadiran negara (dalam situasi pandemi) agar masyarakat tidak merasa atau benar-benar sendirian, sebab itulah esensi tugas negara.

Pertanyaannya mengapa itu tidak benar-benar terwujud?

Apakah kurang dana?
Apakah kurang SDM?
Apakah kurang infrastruktur?

Baca Lagi: Menalar Pernyataan dalam Politik

Bukan itu masalah intinya. Yang ada dan sedang terus terjadi ialah tidak sedikit aktor politik di Tanah Air yang telah lama dilanda krisis nilai sampai miskin luar biasa, sampai-sampai, berbohong pun dipandang sebagai strategi daripada sebuah kepandiran dan kejahatan.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment