Home Kisah Belanja di Supermarket vs Bantu Pedagang Kecil: Sebuah Renungan tentang Empati dan Keadilan
Belanja di Supermarket vs Bantu Pedagang Kecil: Sebuah Renungan tentang Empati dan Keadilan

Belanja di Supermarket vs Bantu Pedagang Kecil: Sebuah Renungan tentang Empati dan Keadilan

by Imam Nawawi

Pagi itu, secangkir kopi baru akan menemani saya. Selintas saya membuka pesan di ponsel. Sebuah renungan singkat tentang perbedaan sikap kita saat berbelanja di supermarket besar dan saat berhadapan dengan pedagang kecil di jalanan, membuat saya tercenung. Pesan itu datang dari H. Punanggoro kepadaku.

“Kalau kita beli produk di supermarket besar, maka kita dengan mudahnya setuju dengan harga yang ditawarkan. Gak perlu lah nawar, bikin malu. Emang kita orang susah!”

Kalimat itu menohok, menyentil kesadaran saya.

Benar, berapa kali kita tanpa ragu memasukkan barang ke troli, tanpa menawar sedikitpun, bahkan untuk barang-barang yang harganya bisa dibilang cukup mahal.

Kita merasa gengsi untuk menawar, seolah itu akan menurunkan derajat kita.

Namun, ironisnya, ketika berhadapan dengan pedagang kecil di pinggir jalan, kita seringkali menjadi ‘jagoan tawar-menawar’.

Kita berusaha menekan harga serendah mungkin, bahkan terkadang sampai membuat sang pedagang merasa tak dihargai.

Kepekaan

“Mbah Atmo Slamet, usianya sudah 90 tahun masih mengayuh becak tua dengan dagangan sapu ijuk, sapu lidi dan arang. Kulitnya kotor menghitam, bajunya lusuh penuh lipatan.

Tebak berapa harga satu buah sapunya? Rp. 6.000 saja. Mbah itu pun menjajakannya dengan becak dari wilayah Dlingo yang berjarak 28 kilometer dari pusat kota Jogja.”

Kisah Mbah Atmo ini semakin mempertegas kontradiksi dalam diri kita. Kita mungkin tak berpikir dua kali untuk membeli kopi seharga 30 ribu di kafe mewah, tapi merasa berat hati mengeluarkan 6 ribu untuk membeli sapu dari seorang kakek renta yang harus berjuang keras mengais rezeki.

Mengapa terjadi perbedaan sikap yang begitu mencolok?

Mungkin, ini ada kaitannya dengan persepsi kita tentang nilai dan harga diri.

Di supermarket, kita dikelilingi oleh barang-barang bermerek, suasana yang nyaman, dan pelayanan yang prima. Kita merasa bahwa harga yang tertera adalah harga yang pantas, sesuai dengan ‘kelas’ tempat tersebut. Menawar akan terasa ‘memalukan’, seolah kita tidak mampu membeli barang-barang tersebut.

Sebaliknya, saat berhadapan dengan pedagang kecil, kita seringkali melihat mereka sebagai ‘orang susah’ yang ‘butuh’ belas kasihan kita.

Kita merasa memiliki ‘kekuasaan’ untuk menentukan harga, karena menganggap barang dagangan mereka tidak sebanding dengan barang-barang di supermarket.

Namun, apakah benar demikian? Bukankah setiap barang, baik yang dijual di supermarket maupun di pinggir jalan, memiliki nilai dan cerita tersendiri?

Bukankah di balik setiap produk, ada keringat dan perjuangan seseorang yang berusaha mencari nafkah?

Saatnya Berubah

Mungkin sudah saatnya kita mengubah cara pandang kita. Mari kita belajar untuk lebih menghargai setiap usaha, sekecil apapun itu.

Mari kita belajar untuk lebih peka terhadap kebutuhan sesama, terutama mereka yang berjuang di lapisan bawah.

Kita bisa mulai dengan hal-hal sederhana. Misalnya, membeli barang dari pedagang kecil meskipun kita tidak terlalu membutuhkannya.

Atau, memberi uang lebih saat membayar jasa tukang parkir, tukang becak, atau pemulung. Atau, sekadar memberikan senyuman dan sapaan ramah kepada mereka.

Baca Juga: Ekonomi Maju atau Ekonomi Mati. Mana yang Segera Terjadi?

Ingatlah, setiap rupiah yang kita keluarkan bisa jadi berarti besar bagi mereka. Mungkin itu bisa membantu mereka membeli makan untuk keluarganya, membayar biaya sekolah anaknya, atau sekadar memberikan sedikit kebahagiaan di tengah kerasnya kehidupan.

Berbagi Kebahagiaan, Membangun Empati

Berbagi bukan hanya tentang memberi materi, tapi juga tentang berbagi kebahagiaan, harapan, dan semangat. Ketika kita membantu orang lain, kita tidak hanya meringankan beban mereka, tapi juga memberikan mereka kekuatan untuk terus berjuang.

Dan yang tak kalah penting, berbagi juga mengajarkan kita untuk lebih bersyukur atas apa yang kita miliki.

Kita jadi menyadari betapa beruntungnya kita dibandingkan dengan mereka yang harus berjuang lebih keras untuk bertahan hidup.

Mari kita jadikan momen ini sebagai titik balik untuk lebih peduli dan berbagi kepada sesama.

Mari kita bangun masyarakat yang lebih adil dan berempati, di mana setiap orang merasa dihargai dan diperhatikan, tanpa memandang status sosial atau ekonomi.

Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi seberapa banyak yang kita berikan. Dan, lebih utama, adakah uang yang kita belanjakan dapat bermanfaat, bahkan menyelamatkan “nyawa” orang-orang bawah yang terus berjuang dan menghindari meminta-minta?*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment