Kali ini untuk kesekian kalinya saya tiba di Aceh, tepatnya Banda Aceh, yang merupakan provinsi paling Utara di Pulau Sumatera Indonesia.
Mengapa saya sebut belajar kembali ke Aceh, karena di sini saya bisa melihat langsung bagaimana Banda Aceh dengan masyarakat yang religius dan cinta pada kebaikan.
Baca Juga: Memahami Diri sebagai Manusia
Prof. Dr. M. Dien Madjid dalam buku Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Perdagangan, Diplomasi dan Perjuangan Rakyat menjelaskan Belanda pun dalam pelayaran ke Nusantara menghindari pelabuhan-pelabuhan yang telah dikuasai oleh Aceh. Jadi, Belanda yang kala itu dipimpin oleh Cornelis de Hotman mengarah ke Banten.
Hal itu dilakukan karena Belanda memilih menghindari perang laut terbuka dengan Aceh. Sebab memang tidak mudah Belanda bisa merapat ke Aceh walau pun sempat singgah membeli rempah-rempah dari penduduk lokal.
Dengan kata lain, Aceh memang punya kekuatan dan diperhitungkan, bahwa kemudian Belanda masuk dan memecah belah daeah-daerah di bawah kekuasaan Aceh, hal itu tidak melunturkan kebesaran Aceh sebagai sebuah bangsa yang Belanda harus berhitung jauh.
Dan, sebagai anak bangsa Indonesia, dimana Aceh ada di dalamnya, kita patut mengenal sejarah ini secara lebih dekat, sehingga kita tidak terbawa oleh arus inferiorisme yang selama ini dihembuskan Barat kepada bangsa ini.
Persahabatan
Terlepas dari sejarah itu, monumen sejarah yang masih berdiri kokoh walau sempat dihantam Tsunami ialah Masjid Baiturrahman.
Pemimpin Umum Hidayatullah KH. Abdurrahman Muhammad menurut sahabat saya, Ahmad Syakir kala datang ke Aceh pasca Tsunami merasakan getaran mental yang besar mengingat masjid itu adalah simbol perjuangan dan perlawanan umat Islam atas penjajahan Belanda.
Dalam kata yang lain, persahabatan mereka yang memang mendambakan kemerdekaan bangsa terus menyala walau raga tak lagi bersama.
Demikian pun yang kurasakan kala tiba di Aceh, sahabat-sahabat saya yang penuh gairah perjuangan, dedikasi dan militansi untuk kebaikan umat, bangsa dan negara, sangat mendominasi warna pertemuan, diskusi dan perbincangan yang dilakukan.
Benar-benar istimewa, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Baththuthah (703-779 H atau 1304-1377 M) dalam Tuhfah An-Nazhzhar mengatakan bahwa “Sumuthrah” mungkin yang dimaksud adalah Aceh adalah kota yang besar dan indah, dikelilingi benteng dan menara-menara yang terbuat dari kayu.
Kuatkan Mental Superior
Uraian ringkas ini sungguh tak memadai untuk menggambarkan betapa Aceh menyediakan ruang begitu luas nan panjang untuk dikaji, digali, diteliti dan dipelajari. Dan, tentu saja seluruh Indonesia, penting untuk dipahami secara mendalam oleh generasi muda.
Oleh karena itu, saya sering kagum dan bertasbih kepada Allah, setiap kali kaki menginjakkan kaki di belahan bumi negeri ini, selalu ada jejak-jejak indah, kokoh dan mengagumkan di masa lalu.
Baca Lagi: Rumusan Aksi Pemenangan
Di sinilah kita harus terus belajar, tak perlu jauh dan muluk-muluk, buka saja lembaran demi lembaran sejarah. Karena hari ini saya di Aceh, maka saya jadikan judul artikel ini belajar kembali ke Aceh.
Yang itu berarti, kala teman-teman ada di suatu tempat, cobalah selain selfie sembari makan dan minum, gali nilai sejarah yang dapat membangkitkan mental superior di dalam diri kita semua.*