Adzan Subuh belum berkumandang, namun mata ini tak sabar menyapu buku demi buku yang tersaji. Sampai akhirnya pandangan ini tiba pada buku “Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi Sebuah Otobiografi.” Pada halaman 586 tertuang kisah dakwah sang pelita umat itu terhadap pria pengguna cincin emas.
Sisi yang sangat menawan dari buku ini adalah banyak kisah hidup sang Syaikh, yang beliau alami dan beliau tulis sendiri.
Baca Juga: Begitu Hebat Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi
Jadi, membaca buku ini rasanya seperti menyimak beliau bertutur langsung. Indah sekali.
Penuturan Syaikh
“Suatu hari saya bertemu dengan seorang pejabat senior bank dan menemukannya mengenakan cincin emas besar di tangannya,” Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi memulai pengalamannya.
Melihat hal itu, Syaikh langsung memberikan pendapatnya.
“Ini (pakai cincin emas) dilarang untuk laki-laki dalam Islam.”
Pria itu menjawab, “Ibuku memberikannya kepadaku ketika aku menikah.”
Syaikh menjawab, “Ibumu tidak tahu bahwa itu dilarang.”
Pria itu berkata, “Saya tidak tahu bahwa itu dilarang.”
Sebagai ulama yang produktif menulis, Syaikh pun memberikan jawaban jelas.
“Saya akan memberi anda sebuah buku yang memberi anda pemikiran yang masuk akal tentang apa yang boleh dan apa yang dilarang.”
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi pun memberikan buku karyanya yang berjudul “Halal dan Haram dalam Islam.
Singkat cerita, kala Syaikh bertemu lagi dengan pria itu, ia tidak lagi menggunakan cincin emas itu.
Pria itu berkata, “Buku anda telah mengajari saya banyak hal yang saya tidak tahu. Kami berada dalam kondisi tidak tahu dan buta sampai buku ini membuka mata saya.”
Syaikh pun menulis dalam bukunya, “Saya menemukan dia telah melepas cincin emasnya dari tangannya.”
3 Poin Penting
Dari pengalaman hidup Syaikh Yusuf Al-Qaradawi itu kita bisa dapatkan setidaknya tiga poin penting.
Baca Lagi: Menjawab Tantangan Peradaban
Pertama, betapa berdakwah itu perlu. Sekiranya Syaikh tidak menyampaikan kebenaran ajaran Islam kepada pria itu, maka pria itu akan terus menggunakan cincin emas, yang Islam melarang itu.
Kedua, berdialog dengan cara yang baik merupakan bagian penting dalam berdakwah.
Ketiga, keunggulan Syaikh sebagai ulam, beliau produktif menulis buku.
Dalam kasus itu dapat kita lihat bagaimana buku memberikan peran signifikan dalam mengubah cara berpikir dan kesadaran seseorang.
Dengan demikian, dari lembaran sejarah dakwah Syaikh, kita boleh memungut pelajaran, bahwa dakwah itu bisa kita lakukan kapanpun, salah satunya melalui dialog.
Tetapi, kalau seseorang bisa menulis, maka lakukanlah. Karena boleh jadi tidak ada dialog lisan, tapi melalui tulisan kita bisa menyadarkan seseorang atau bahkan banyak orang. Dan, insha Allah, kita ikut berdakwah.*