Home Artikel Batu Loncatan itu Masa Lalu Sendiri
Masa lalu

Batu Loncatan itu Masa Lalu Sendiri

by Imam Nawawi

Masa lalu itu indah, kalau isinya kebahagiaan. Tapi sebenarnya masa lalu juga menggugah, meski itu orang jalani dengan perjuangan penuh lelah. Catatannya satu, kita kudu bisa menjadikan itu sebagai batu loncatan, tepatnya sebagai anak tangga.

Jadi jangan mengutuk masa lalu. Juga tidak perlu merendahkan hari ini.

Kita justru sangat butuh memandang masa lalu sebagai batu loncatan, menjadi lebih baik pada hari ini dan pada masa mendatang. Kalau dalam bahasa spiritual, kita butuh bersyukur untuk terus meningkatkan nikmat dari Tuhan.

Artinya cara melompat paling baik dalam hidup ini adalah bersyukur. Fokus kita mesti mengarah pada aksi nyata. Yakni mengisi hari ini dengan kebaikan terbaik yang bisa kita lakukan.

Syukur tidak cukup hanya dengan berucap “Alhamdulillah”. Itu hanya ekspresi syukur. Syukur yang sebenarnya adalah kesadaran maksimal yang diwujudkan dalam bentuk amal.

Jawab Masa Lalu dengan Tri Keras

Tapi kalau kita mau balik sebentar, sebenarnya siapa yang butuh batu loncatan?

Tentu saja yang membutuhkan batu loncatan itu adalah orang yang punya impian. Mereka juga memiliki cita-cita, idealisme atau tujuan mulia yang hendak digapai. Orang yang hidup tanpa itu semua, hidup hanyalah tentang kesenangan pribadi.

Dalam kata yang lain, orang yang butuh batu loncatan dari masa lalu akan membangun karakter positif. Mau mengevaluasi hari demi hari yang mereka jalani. Apakah itu baik, membawa manfaat dan lain sebagainya.

Lebih jauh, setelah evaluasi, ia akan mengagendakan perjuangan dalam kesehariannya. Ada hal yang ia tekuni dengan sepenuh hati. Akan ada yang jadi prioritasnya dalam hidup.

Kalau Ust. Abdullah Said, pendiri Hidayatullah ia menerapkan yang namanya “Tri Keras”. Yaitu kerja keras, berpikir keras dan beribadah keras.

Artinya kalau ada masa lalu sulit, jangan menyerah pada hari ini. Ketika kita melihat orang terseret hedonisme dan materialisme, kita mesti sadar bahwa nilai dan idealisme adalah harga diri paling mulia yang harus kita pertahankan.

Bukankah bertahan pada ruang dan lingkaran kebaikan bersama orang-orang yang positif, jauh lebih baik daripada mendapat harta dari lingkaran orang yang buruk?

Menang dan Belajar

Lebih dalam, saya teringat ungkapan Nelson Mandela. “Saya tidak pernah kalah. Saya menang atau belajar”.

Dalam kata yang lain, masa lalu yang suram, berat atau bahkan penuh penderitaan, sejatinya adalah “buku” yang bisa kita jadikan bahan belajar.

Orang yang belajar akan tahu, kemana kaki harus dipijakkan. Kapan ia mesti melompat. Dan, dengan strategi apa ia akan sampai pada tujuan.

Itulah semangat dari Edison. Ia berkata, “Saya tidak gagal 10 ribu kali. Saya hanya menemukan 10 ribu cara yang tidak berhasil”.

Begitulah seharusnya cara kita mengisi hari demi hari. Tidak terjebak masa lalu, tidak terlena hari ini, juga tak terperangkap akan ketakutan masa depan. Syukur hari ini, maka kita akan bisa melompat tinggi.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment