Bangun kesadaran menulis untuk pegiat pendidikan merupakan kegiatan yang mengawali hari saya pada weekend kali ini (1/8) yang juga awal bulan kemerdekan bagi bangsa Indonesia.
Kegiatan training menulis ini dilakukan secara virtual melalui aplikasi google meet dan diikuti oleh segenap guru yang ada di Pesantren Hidayatullah, Menggala, Tulang Bawang, Lampung.
Pada kesempatan itu saya menyampaikan bahwa menulis bukan semata soal skill dan minat atau bakat. Tetapi kesadaran.
Oleh karena itu, dalam setiap sesi mengisi training bagaimana menggoreskan pena atau menarikan jemari di atas laptop dan atau handphone, saya tidak terlalu masuk pada sisi teknik, karena yang pertama dan utama dibutuhkan adalah kesadaran diri setiap orang, mengapa dirinya harus menulis.
Apabila kesadaran ini hadir, maka teknik akan dia selami dengan sendirinya, seiring dengan konsistensi yang terus ia lakukan di setiap harinya.
Baca Juga: Menulis itu Memulai
Sebab tidak sedikit orang belajar menulis, memulai dari teknik, sampai pada cara membuat judul yang menarik, pada akhirnya ia tidak sadar dan karena itu berhenti menulis.
Belajar Menulis dari Ulama
Para ulama terdahulu itu menulis karena dorongan kesadaran yang kuat. Memang, begitu peradaban Islam jaya yang ditandai dengan mapannya sistem politik dan ekonomi serta pendidikan, sebuah karya tulis kala itu dihargai dengan emas.
Semakin tebal dan berat timbangan sebuah karya tulis, semakin berat bobot emas yang ia terima.
Tetapi, kita tidak bisa melihat hanya satu masa saja. Ada masa dimana ulama-ulama menulis karena kesadaran iman yang membuncah dalam hatinya.
Taruhlah Imam Bukhari yang 16 tahun melakukan perjalanan panjang dan melelahkan dan hasilnya adalah tulisan tentang hadits-hadits Rasulullah SAW.
Kalau dipandang dengan kacamata sekarang, jelas itu kegiatan yang tentu disponsori oleh lembaga donor. Tetapi, bukan itu yang menggerakkan Imam Bukhari.
Beliau lakukan itu karena kesadaran iman, dimana penulisan hadits ini sangat dibutuhkan oleh umat Islam dari zaman ke zaman. Bahkan Imam Bukhari tidak menuliskan satu hadits, melainkan beliau awali dengan sholat dua rakaat terlebih dahulu.
Demikian pula halnya dengan Imam Ghazali, menulis berbagai macam judul kitab dengan berbagai disiplin keilmuan, tidak dilakukan karena orientasi jangka pendek, tetapi kesadaran iman, sehingga tulisannya benar-benar mencerahkan umat dalam memahami Islam dengan baik.
Menulis Seperti Buya Hamka
Setelah kesadaran dibangun dalam diri para pegiat pendidikan, barulah saya masuk tentang bagaimana menulis dan membiasakan diri menulis.
Buya Hamka adalah sosok menarik untuk diteliti bagaimana menarikan jemari untuk menuangkan pikiran-pikiran besarnya.
Dalam buku Tasawuf Modern beliau secara eksplisit menegaskan bahwa tulisan itu adalah buah dari membaca pikiran para filosof dan juga sufi, yang kemudian dirangkai dengan kondisi faktual keummatan, lalu diberi judul tasawuf modern.
Lebih lanjut, beliau jelaskan bahwa menulis itu menghimpun data dan pemikiran para tokoh kemudian dihubungkan dengan kondisi sekarang bahkan diri sendiri, entah itu perasaan maupun pengalmaan lalu disatukan dan jadilah tulisan yang menggubah.
Jadi, menulis dalam kacamata Buya Hamka bukanlah hal yang rumit. Masalah terbesar adalah kita belum punya cukup kesadaran untuk melakukan itu dari kekuatan iman di dalam hati.
Akibatnya banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal wajib saja dalam dimensi profesional, kemudian mencari waktu bersenang-senang karena penat bekerja.
Padahal, orang beriman itu idealnya menjadikan setiap kesempatan sebagai sarana memperhatikan ayat-ayat Allah dalam beragam wujud yang terpapar di dalam kehidupan ini.
Kemudian mengikat dalam satu susunan berpikir dan menuangkannya dalam bentuk ucapan atau pun tulisan yang memberi manfaat.
Rumus Umum Menulis
Prof. Dr. KH. Hamid Fahmy Zarkasyi, Rektor UNIDA Gontor mengatakan bahwa untuk bisa menulis orang harus membaca.
“Membaca, menulis, itu adalah syariat akademik,” katanya.
“Syariatnya akademik, itu tidak bisa Anda tawar,” imbuhnya.
“Kalau Anda hanya membaca saja, tidak ada diskusi, itu bisa stress. Ilmuwan yang di batin saja. Tidak didiskusikan.
Sama dengan orang yang makan banyak tapi tidak olahraga. Itu kolestrol tinggi,” jelasnya lebih lanjut.
Jadi, untuk bisa menulis dengan konsistensi tinggi, membaca itu adalah makanannya. Kemudian, agar tulisan terus mengalami peningkatan kualitas, mendiskusikan atau berdiskusi menjadi satu hal yang penting.
Pada akhirnya, mari goreskan pena kita, niatkan dengan kesadaran, lakukan dengan konsistensi tinggi. Terlebih diri mendapat amanah sebagai pegiat pendidikan yang harus melahirkan generasi cemerlang di masa depan. Percayalah hari-hari kita ke depan akan lebih baik.
Baca Juga: Membangun Arus dengan Pelatihan Jurnalistik
Karena tidak satu pun orang menorehkan tinta kecuali ia akan mengajak akal dan batinnya bekerja dengan baik. Jika itu dilengkapi dengan tradisi ibadah yang baik, maka insha Allah, tulisan-tulisan kita akan menjadi energi yang memberi manfaat bagi segenap pembaca, insha Allah.*