Pagi masih terbilang sejuk dan cahaya mentari mulai menebar kehangatan, saya ditemani Sekjen PP Hidayatullah, Bang Majelis berangkat ke suatu tempat, namanya Cimande Hills. Ternyata bahagia menerpa kala tiba di sana.
Setelah satu jam mengukur jalan, tibalah kami di sebuah lokasi yang terbilang jauh dari jalan utama, namun menawarkan keasrian dan ketenangan yang khas.
Baca Juga: Menguatkan Daya Baca
Ya, Cimande Hills milik Haji Sofyan, seorang pria yang murah senyum, energik dan senang dengan kemajuan anak-anak muda.
Beliau bahkan menyiapkan villa itu dengan seutuhnya pikiran dan tenaganya sendiri. Maklum, Haji Sofyan yang akrab disapa Pak Haji memang seorang ahli elektro jebolan UGM 1986.
Cimande Hills berada di Jalan Cimande No. 13, Naggeleng, Kecamatan Caringin, Bogor, Jawa Barat 16730.
Kian Bahagia
Kedatangan ke Cimande Hills semakin bahagia karena bukan sebatas untuk menikmati villa yang sejuk, tenang dan asri itu.
Kebahagiaan itu kian bertambah karena Haji Sofyan sangat ramah dan langsung akrab kepada kami, seakan-akan kami adalah anaknya yang lama tak kunjung datang.
Disaat yang lain, kami datang untuk sharing dengan para mahasiswa dari beberapa kampus di Jakarta yang bergabung dalam Pesma Dai.
Dalam kesempatan itu saya mengajak para mahasiswa untuk lebih siap menghadapi kehidupan secara lebih lengkap.
Bahwa tugas dan urusan terberat mahasiswa bukan pada tugas mata kuliah, tetapi bagaimana selama kuliah mampu menjadi jiwa-jiwa yang mengenal Allah Ta’ala dengan baik, sehingga mentalitas dan niat di dalam menuntut ilmu benar-benar kokoh.
Kokoh untuk ikut serta menolong agama Allah, menjadi pribadi yang bermanfaat luas bagi kehidupan umat. Jadi, kuliah bukan tentang bagaimana mendapat pekerjaan dan gaji semata, tetapi mendorong kebermanfaatan diri lebih luas dan konkret di tengah-tengah masyarakat.
Dalam bahasa Adian Husaini pada sebuah buku miliknya, “Jangan Kalah Sama Monyet.”
“Jika mahasiswa kuliah hanya untuk cari makan, maka renungkanlah: ‘Monyet saja bisa makan tanpa kuliah!'” (halaman 64).
Merajut Mimpi
Namun kebahagiaan ini hanyalah perantara, jembatan dan penghubung. Kita tidak boleh larut di dalamnya.
Kebahagiaan sejati adalah istiqomah di jalan dakwah. Oleh karena itu, aset terbesar bangsa ini ada pada kaum mudanya. Pesmadai hadir juga dalam rangka ikut serta mencerdaskan bangsa.
Baca Lagi: Kuatkan Literasi Umat
Dan, karena itu mereka harus bisa merajut mimpi. Bukan sekedar bisa bermimpi.
Kata Syamsuddin Arif dalam buku “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran disebutkan bahwa sebuah ide atau teori itu berangkat dari perjalanan, dimulai dari asumsi dan presuposisi.
“Demikian pula gagasan pemikiran, tidak bisa terlepas dari konteks peradaban di mana teori itu dilahirkan.” (halaman 172).
Jadi, kalau mahasiswa ingin mengisi masa depan dengan perwujudan mimpi-mimpi indah, maka dari sekarang sudah harus sabar dan konsisten merajut mimpi-mimpinya itu.
Tidak ada yang instan, tidak ada jalan pintas dan tidak ada keberhasilan tanpa upaya nyata mewujudkannya. Pertemuan ini semoga menjadikan kita semua mampu merajut mimpi untuk Indonesia yang leih baik, adil, makmur dan sentosa.*