Sebagian orang mungkin masih ada yang memafhumi kata kepemimpinan hanya soal struktural. Ada hirarki yang berlaku, ada atasan dan bawahan. Padahal sejatinya kepemimpinan erat hubungannya dengan iman. Inilah bahasan kita sekarang, tentang bagaimanakah iman membentuk kepemimpinan diri.
Kalau mengindahkan kata iman, sebagian kita pikirannya tentang ibadah. Padahal iman juga sangat erat hubungannya dengan kepemimpinan diri.
Baca Juga: Sadar Sebagai Pemimpin
Misalnya Allah memanggil, “Wahai orang-orang beriman, bersabarlah…”
Perintah sabar itu butuh ilmu, keyakinan plus kepemimpinan.
Simpelnya lihat saja orang yang dengan pikiran, sikap dan perbuatannya malah menghancur leburkan kehidupannya. Padahal sebelumnya ia memiliki kedudukan tinggi.
Semua itu terjadi karena ia tidak mau sabar. Ia menjadi kehilangan kontrol akan diri bahkan kehidupannya.
Oleh karena itu memahami iman dan kesadaran akan pentingnya memimpin diri sendiri adalah hal yang sangat kita butuhkan.
Karena kepemimpinan itu bukan sebatas yang punya anak buah. Tetapi siapa saja yang masih hidup, ia harus sadar dan mampu membimbing diri sendiri.
Menampilkan Teladan
Memimpin diri sendiri berarti sadar dan mau menyuruh kehendak diri untuk meyakini, melakukan dan menikmati indahnya melakukan kebaikan. Orang biasa menyebut itu sebagai keteladanan.
Kita mungkin tidak pernah bersalaman dengan Buya Hamka. Tetapi mengapa pikiran, tulisan atau ceramah bahkan film tentang Buya Hamka menjadi rujukan dalam hidup kita?
Tidak lain karena adanya keteladanan. Sikap, pikiran dan perilaku bahkan karya Buya Hamka yang bagus menjadikan kita percaya dan mengakui bahwa jalan hidup Buya Hamka layak jadi teladan.
Posisi Buya Hamka, ulama terdahulu dan pemimpin yang kita kaji terus menerus kepemimpinannya adalah sejatinya pemimpin.
Tidak berlebihan kalau kemudian ada ungkapan bahwa memimpin diri sendiri jauh lebih sulit daripada memimpin orang lain.
Karena memimpin diri seseorang harus mengkondisikan sedemikian hasrat dan pretensi dalam diri agar tetap tegak lurus dengan iman dan kebenaran.
Sebaliknya ada orang yang kedudukannya luar biasa tinggi, kemana-mana dapat fasilitas anggaran rakyat. Akan tetapi karena gagal memimpin diri, bahkan sebatas ucapannya, maka orang tidak mau mentaati.
Mengapa, tidak lain karena tidak ada keteladanan. Jadi, ia hidup hanya sebagai pejabat, bukan pemimpin. Karena memang miskin dari teladan dan kepeloporan dalam kebaikan, pembangunan jiwa manusia, serta tidak mampu mengendalikan hasrat negatif dalam dirinya.
Memulai
Nah, tiba akhirnya kita harus memulai bagaimana memimpin diri sendiri.
Pertama, atur diri sendiri dengan baik. Bahkan kalau perlu, setiap jiwa harus memaksa dirinya sendiri menjadi manusia dengan pikiran dan kebiasaan yang baik. Tempa diri menjadi pribadi berkualitas.
Latih untuk berkata-kata yang baik. Langkah ini memerlukan komitmen membaca, menyimak dan konsentrasi yang sedemikian rupa kita tata. Bahkan termasuk pergaulan.
Baca Lagi: Anak Muda Harus Siap Memimpin
Kata KH. Zainuddin MZ apa mungkin maling berpikir tentang majelis taklim. Dalam arti yang lain, seseorang yang pergaulannya buruk, sulit berkata baik. Apalagi mengajak pada kebaikan.
Kedua, kelola waktu. Banyak yang belum menyadari bahwa waktu ini sangat berharga.
Anda boleh saja begadang setiap malam. Tetapi tidak mengelola waktu dengan baik, yang dapat membentuk kebiasaan baik dan karakter baik, itu sama saja dengan menjerumuskan diri sendiri.
Orang gagal tepat waktu, disiplin, terlambat dalam deadline pekerjaan, bukan karena dia tidak cerdas. Seringkali karena tidak mampu mengelola waktu dengan baik. Itu artinya belum mampu memimpin diri sendiri. Imannya belum seutuhnya fungsional.
Ketiga, berhenti menyalahkan orang lain.
Kalau Anda tersandung batu, jangan batu yang Anda salahkan. Kalau Anda memberikan instruksi kepada bawahan. Kemudian bawahan gagal menjalankan, jangan salahkan bawahan.
Akan tetapi, koreksilah diri Anda, apa yang salah dalam memberikan arahan.
Kenapa bawahan gagal, apakah komunikasi sudah tepat atau apa.
Prinsipnya ambil tanggung jawab. Jangan pandai menyalahkan orang lain.
Seenak-enaknya bicara dalam hidup ini adalah menyalahkan orang lain.
Padahal itu tidak memberi keuntungan apapun. Selain diri yang semakin terpuruk karena tak mampu mengatasi masalah yang terjadi.*