Jika kita memerhatikan kondisi bangsa saat ini, terutama para pejabat yang rata-rata enggan “bergeser” dan cenderung membangun dinasti, kita bisa menyimpulkan bahwa wajah Indonesia, utamanya pada 2024, cenderung akan suram.
Kesimpulan ini muncul dari fakta yang terus berkembang. Salah satu contohnya terjadi di Probolinggo, pada masa Hasan Aminuddin, bupati dua periode, yang kemudian istri keduanya, Puput, melanjutkan, menduduki jabatan yang sama selama dua periode, yakni 2013-2023.
Saat istri meneruskan jabatan sebagai bupati, Hasan pun meenggang ke Senayan sebagai Anggota DPR RI periode 2014-2024.
Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) Riau, yang mana anak menjadi ketua DPRD, sang ayah menjadi Bupati Kuansing. Waktu bergulir, akhirnya dua anak sang bupati duduk sebagai bupati satu sisi, sisi lain anak kedua duduk sebagai Ketua DPRD Kuansing.
Kemudian laporan katadata.co.id dinasti politik juga terjadi dalam Pilkada 2020, Jokowi sebagai Presiden RI sukses antarkan sang anak, Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota Solo, kemudian sang anak menantu, Bobby Afif Nasution sebagai Walikota Medan.
Kedua, penerapan ilmu kepemimpinan dalam realitas dan tantangan yang terus berkembang. Di masa kerajaan, mungkin penguasaan informasi dan keahlian menata pemerintahan dan stabilitas negara beredar di keluarga istana semata. Tetapi di era digital seperti sekarang, talenta di luar keluarga penguasa boleh jadi bertebaran.
Baca Juga: Melek Politik
Dalam kata yang lain, dinasti politik pada era sekarang kurang begitu relevan untuk terus berlangsung.
Bahasa Prof. Jimly Ashidiqi dalam podcast endgame bersama Gita Wirjawan mengatakan bahwa semakin modern sebuah organisasi (negara) maka ia semakin menguatkan sistem. Semakin kampungan, maka ia akan bersandar pada figur.
Konflik Kepentingan
Politik dinasti secara sederhana ialah upaya melanggengnkan kekuasaan dengan mendudukkan keluarga dalam jabatan politik.
Langkah ini mungkin tidak masalah jika dalam kiprah kepemimpinannya mampu membawa kemajuan. Tetapi jika realitanya terbalik, inilah masalah yang harus bisa kita urai.
Kemudian secara sistem, yakni demokrasi, tentu dinasti politik atau politik dinasti sangatlah tidak relevan. Ketika itu terjadi, maka sebenarya ini bisa jadi alat ukur akurat, bahwa demokrasi yang ada telah terjual oleh pragmatisme. Sisi lain, partai politik tidak mampu menghidupkan mesin organisasinya untuk menghadirkan kandidat pemimpin yang memadai.
Ketika itu terjadi, maka konflik kepentingan tidak terhindarkan. TItik kerawanan pun akan terus menganga, seperti netralitas birokrasi, penggunaan dana kampanye, transparansi anggaran dan lainnya.
Konfli kepentingan itu terjadi karena memang banyak nilai yang akan berbenturan, antara norma dengan realitas dan pretensi. Dinasti politik pasti bukan tanpa sebuah maksud.
Burhanuddin Muhtadi menjelaskan bahwa ada yang namanya dinasti politik arisan keluarga. dinasti politik arisan keluarga, lintas cabang kekuasaan, dan lintas daerah. Dinasti politik arisan keluarga terjadi dimana satu keluarga berganti memimpin satu daerah bahkan partai. Menurutnya hal ini bukan hanya strategi ekspansi kekuasaan, tapi juga pertahanan diri.
Dua poin di sana, yaitu ekspansi kekuasaan dan mempertahankan diri. Artinya dalam upaya tersebut jika ada norma yang orang anggap menghalangi, maka beragam trik akan mereka gunakan agar norma yang ada, termasuk UU tidak menghambat target dan tujuan utama, yaitu ekspansi kekuasaan dan mempertahankan diri.
Mari Kita Ubah
Jika di 2024 fakta dinasti politik masih terjadi bahkan dominan, maka sebenarnya demokrasi di negeri ini tidak saja gagal, tetapi sudah tidak berdaya melahirkan sosok pemimpin yang relevan dengan aspirasi dan harapan rakyat.
Di sini kesadaran publik dan upaya untuk bersikap secara tegas dan berani serta bertanggung jawab harus mulai dipersiapkan. Misalnya dengan mendorong partai politik bekerja lebih progresif, jangan hanya maunya mencalonkan kandidat yang punya duit dan dinilai akan menang.
Baca Lagi: Komunikasi Politik Bukan Tanpa Arah
Di sisi yang lain, media massa penting memberikan koreski berimbang, agar wajah Indonesia di 2024 benar-benar berubah, sehingga narasi politik bangsa ke depan kental dengan aroma kemajuan pembangunan, mulai dari infrastruktur sampai pembangunan manusia.
JIka tidak, maka demokrasi Indonesia sebenarnya sudah lama tertinggal secara substansi. Karena masyarakat tidak dapat memberikan peran menyampaikan harapan dan pendapat untuk partai politik benar-benar menghadirkan kandidat yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan zaman.
Ketika ini tidak kita ubah, maka selamanya politik harus kita bayar dengan ongkos yang mahal. Tidak saja dalam konteks finansial, tetapi juga moral dan sosial. Saat itu terus terjadi, sebenarnya Indonesia sebagai negara telah “tunduk” kepada kepentingan dinasti. Dan, ini adalah pertanda buruk nyata yang harus kita atasi segera dan bersama-sama.*