Memberi makna adalah bagian dari tema perbincanganku dengan keponakan. Zahrah, namanya. Ia baru satu semester kuliah di Bandung. Satu yang memicu tema itu kami bahas adalah pertanyaan Zahrah. “Bagaimana supaya tidak bosan dalam kuliah?” Jawabanku ini rasanya bisa juga kalau kita gunakan untuk memaknai Lebaran.
Ternyata benar. Ketika sore tiba, suara takbiran anak-anak di mushola menggema saya mendapat rezeki. Ya, rezeki. Membaca tiga buku. Satu dari buku itu “Filosofi Teras”. Saya ingat pada kalimat: “Bagaimana sakitnya kehilangan anak?”
Itu tergantung pada cara kita memberi makna. Apa mau menyiksa diri terus menerus dengan makna negatif. Atau kita menerima itu sebagai bagian dari hal yang kita perlu bernalar dan menemukan kebijaksanaan.
Sama dengan yang kujelaskan kepada Zahrah, kalau mau menikmati apapun, termasuk kuliah. Jangan melakukan apapun tanpa makna. Beri makna dalam setiap keputusan, aktivitas, bahkan apa yang kita kerjakan. Mahasiswa baru itu tersenyum puas. Tapi saya yakin ia memahami maksudku.
Makna Lebaran
Lebaran, siapa yang tidak suka. Orang rela antre di terminal, stasiun dan bandara demi mudik. Lebaran.
Bahkan pejuang keluarga rela bekerja ekstra, karena akan datang Lebaran.
Hanya satu yang tidak tahu ajar, mereka yang menjabat dan tak berhenti korupsi. Terus berbohong. Dan, sibuk mencari narasi agar tertangkap kamera seperti pembawa kebenaran.
Lantas, ada apa dengan Lebaran?
Kekeluargaan. Itu alasan pertama. Lebaran menjadikan setiap orang terhubung dengan keluarga. Semakin modern manusia semakin terjerat individualisme. Lebaran mengajak kita bebas dari ikatan semu itu. Tidak heran kalau orang menilai, siapa yang bisa pulang adalah yang sangat beruntung.
Seorang teman berkata kepadaku. “Saya bingung. Pulang atau tidak. Kalau pulang uang tidak cukup. Kalau tidak, ibu meminta saya pulang,” katanya sembari memijat bagian belakang kepalaku.
“Pulang saja,” saranku kepadanya.
“Walaupun uangmu habis, tapi itu untuk bertemu orang tua. Kamu telah menghabiskan uang di jalan-Nya. Begitu lebih baik. Gus Baha mengatakan seperti itu,” sambungku meyakinkan dirinya.
Kedua, Lebaran adalah tentang pengingat, bahwa kita akan “pulang”.
Ingat seperti masa anak-anak, kala masih SD. Bermain kemanapun, kita pasti akan pulang ke rumah.
Resapi dan Jadikan Energi
Jadi, Lebaran sebenarnya kaya akan makna. Oleh karena itu beruntung orang yang bisa dan mau memberi makna.
Dengan begitu, ketika ia sudah sampai di rumah. Kegiatannya adalah bersyukur bersama keluarga. Boleh ke lokasi tamasya, tapi pastikan kekeluargaan yang utama.
Bisa pajang foto ke media sosial, tapi pastikan bahwa kebersamaan inilah yang istimewa.
Dalam kata yang lain, Lebaran bisa kita makna sebagai momentum bersyukur kepada Allah dengan sekuat hati. Pertama, kita telah berpuasa Ramadan. Kedua, kita akan menjalin kekeluargaan atas dasar iman dan takwa.
Lalu bagaimana dengan yang tak bisa bertemu keluarga di Hari Raya. Apakah Lebaran masih punya makna?
Seorang teman tidak bisa pulang Lebaran tahun ini. Bukan soal biaya atau jarak. Tapi demi keselamatan hadirnya anggota keluarga baru. Ia berharap, ketidakpulangannya pada Lebaran ini berhadiah keselamatan bagi lahirnya bayi yang ia nanti-nanti.
Jadi, kita memang mesti terampil memberi makna. Kita mesti bisa menangkap pelajaran, bahwa keluarga itu anugerah luar biasa. Mereka merasakan itu dalam hati. Mereka memahami dengan sepenuh kesadaran. Karena itu pupuk kekeluargaan kita dengan saling memaafkan. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H.*