Mas Imam Nawawi

Membaca
- Kisah

Bacalah 15 Buku Lagi

“Kamu harus membaca setidaknya sepuluh hingga lima belas buku lagi untuk bisa mengatakan hal itu.” Itu adalah kalimat dari seorang profesor dari Turki, Ahmet T. Kuru, dalam pendahuluan bukunya yang berjudul “Islam, Authoritarianism and Underdevelopment”. Ia mengisahkan masa kecilnya yang melihat ayahnya seperti kebingungan menemukan jawaban. Sang ayah baru saja mendapat pertanyaan dari temannya, mengapa […]

“Kamu harus membaca setidaknya sepuluh hingga lima belas buku lagi untuk bisa mengatakan hal itu.” Itu adalah kalimat dari seorang profesor dari Turki, Ahmet T. Kuru, dalam pendahuluan bukunya yang berjudul “Islam, Authoritarianism and Underdevelopment”.

Ia mengisahkan masa kecilnya yang melihat ayahnya seperti kebingungan menemukan jawaban. Sang ayah baru saja mendapat pertanyaan dari temannya, mengapa umat Islam tertinggal dan mengapa pemimpinnya cenderung otoriter. Bukankah itu hambatan untuk umat Islam bisa berkontribusi pada peradaban dunia modern.

Anak kecil yang kini jadi profesor ilmu politik itu pun coba membantu mencarikan jawaban. Keren sekali, masih anak-anak, tapi mau masuk ke dalam alam berpikir yang tak ringan.

Jadi anak itu mencoba memahami buku di perpustakaan ayahnya. Judulnya: “The Iron Angels: Birth, History and Power of the Machines from Antiquity to the Time Goethe.”

Buku itu memang menggambarkan bagaimana perjalanan teknologi yang manusia temukan dan gunakan. Mungkin pria belia itu merasa cukup membantu sang ayah.

Kepada sang ayah ia berkata, “Ini ayah jawaban dari pertanyaan teman ayah itu”.

Ternyata ayahnya memberikan jawaban tak terduga baginya. Bahwa setidaknya kamu harus mengunyah 10 hingga 15 buku lagi.

Membaca itu Kunci

Dari cerita singkat seorang profesor ilmu politik di Cambridge itu saya mengambil pelajaran terang. Bahwa membaca itu kunci.

Ketika masih muda, membangun tradisi membaca itu berat. Tapi begitu berhasil membangun budaya, namanya anak muda, ia tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Bahwa dirinya paham dan buku yang ia baca adalah jawaban.

Padahal, apa yang ia baca baru satu buku. Harus ada sekian buku lagi yang perlu ia baca. Itu bermakna jangan merasa cukup dalam hal membaca. Apalagi coba membangun konstruk berpikir hanya dari satu buku yang dibaca.

Dalam kehidupan sehari-hari, kadang kita bertemu orang yang tidak suka membaca, jarang atau bahkan tidak pernah membaca buku. Tapi kalau bicara, seakan semua hal dia kuasai. Ini karakter yang umat Islam mesti ubah, utamanya generasi muda. Kalau ingin Islam sebagai peradaban maju.

Membaca Kian Mudah

Namun kini, membaca bukan lagi masalah. Pemuda Islam harus mampu memainkan teknologi yang canggih sekarang untuk menumbuhkan budaya membaca. Bahkan kalau perlu, pasang konstitusi diri, tidak bicara kecuali telah membaca.

Kalau Anda ingin menyeberangi sungai, semangat tidak cukup. Termasuk kemampuan berenang juga belum tentu memadai. Anda butuh perahu, pengetahuan mengoperasikannya. Minimal Anda punya “nahkoda” yang siap membantu.

Artinya, membaca memang tidak bisa kita abaikan. Ini adalah sarana yang Allah sebutkan pertama untuk kita miliki.

Justru saya kadang bertanya. Mengapa era Agus Salim, Soekarno, Hatta dan lainnya, saat buku terbatas tapi mereka memiliki budaya intelektual tinggi.

Sekarang kondisinya terbalik. Indonesia sekarang terdiri dari 143 juta orang menggunakan media sosial. Mereka rata-rata pakai gawai 6 jam 3 menit per hari. 1 Jam 44 menit habis untuk memantau media sosial. Sedangkan kategori tingkat gemar membaca (TGM), Indonesia masih ada pada level sedang.

Kalau itu tidak kita ubah, maka jangankan membawa kemajuan, bertindak seperti masa kecil profesor ilmu politik itu pun kita tidak akan melakukannya. Karena yang terbesar dalam alam pikiran sebagian anak muda sekarang adalah soal kerja, kuliner, traveling. Semua itu tidak salah, kalau juga senang membaca.*

Mas Imam Nawawi

 

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *