Mas Imam Nawawi

- Artikel

Ayo Bangun Budaya Riset

Hari ini (21/5/24) saya bertemu sosok peneliti senior. Seperti biasa energinya menyulut api pikiran saya tentang bagaimana menjawab tantangan organisasi bahkan negara hari ini dan nanti. “Mas Imam kita harus segera membangun budaya riset. Ayo, ke ruangan saya,” ucap beliau penuh semangat. Riset bukan hal baru, tapi riset selalu menjadi perlu. Terutama bagi orang atau […]

Ayo bangun budaya riset

Hari ini (21/5/24) saya bertemu sosok peneliti senior. Seperti biasa energinya menyulut api pikiran saya tentang bagaimana menjawab tantangan organisasi bahkan negara hari ini dan nanti. “Mas Imam kita harus segera membangun budaya riset. Ayo, ke ruangan saya,” ucap beliau penuh semangat.

Riset bukan hal baru, tapi riset selalu menjadi perlu. Terutama bagi orang atau organisasi yang menyadari butuh untuk memberi warna, menghasilkan dampak. Alias tidak mau mati tergilas perkembangan zaman. Apalagi sekelas negara, riset menjadi keniscayaan.

Secara bahasa riset artinya penyelidikan (penelitian) suatu masalah secara bersistem, kritis dan ilmiah guna meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta yang baru, atau melakukan penafsiran yang lebih baik.

Hal itu berarti riset menghendaki seseorang punya cara membaca yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sehingga konstruk berpikir yang ia suguhkan dapat memberikan warna bahkan makna yang lebih segar terhadap sesuatu.

Kalau Zora Neale Hurston, penulis Amerika, mengatakan riset itu sangat sederhana. “Penelitian adalah keingintahuan yang diformalkan. Itu (dilakukan dengan) menyodok dan mencongkel dengan suatu tujuan.”

Dan, seperti itulah realitanya. Maka Kurt Lewin, psikolog Jerman-Amerika menegaskan, “Tidak ada penelitian tanpa tindakan, tidak ada tindakan tanpa penelitian.”

Berkembang

Dalam kata yang lain, individu atau organisasi akan terus eksis, berpengaruh dan berdampak jika bertindak berbasis ilmu dan terus mengembangkan ilmu berbasis tindakan (aksi nyata).

Baca Juga: Literasi dan Masa Depan Kita

Kalau kita menengok riset yang dilakukan oleh mahasiswa, dan hasilnya hanya jadi arsip, tak ada yang membaca lagi, tak ada yang ingin mengkaji, semua itu mungkin karena menyimpang dari kaidah Lewin. Riset hanya untuk lulus kuliah. Bukan riset dengan tindakan dan tindakan dengan riset untuk kebermanfaatan bagi masyarakat.

Akibatnya jelas, mekanisme terpenuhi, prosedur tidak ada yang deviasi, tetapi secara fungsional, risetnya tidak bisa orang gunakan. Ketika mahasiswa itu lulus, riset hanya pernah dilakukan, tapi tak mengesankan apalagi jadi kesenangan dalam hidup di masyarakat.

Pada akhirnya pengalaman riset tidak mendorong jiwa untuk berkembang. Dan, kalau jiwa-jiwa seperti itu berkumpul dalam organisasi atau pemerintahan suatu negara, bisa kita tebak, organisasi atau negara akan stagnan. Karena memang tidak mampu merespon keadaan. Asumsi lebih kuat daripada fakta, sentimen lebih tinggi daripada argumen. Dan, pretensi lebih didahulukan daripada bukti-bukti.

Jalan Keluar

Lalu apakah masih ada celah untuk memperbaiki? Jelas, selalu ada dan terbuka. Bahkan akan selalu ada jalan keluar.

Karena riset adalah membaca secara mendalam, fokus dan tersistem, maka ini tidak bisa mewujud hanya karena kemauan sosok seorang saja. Butuh kebijakan pemimpin secara kelembagaan.

Kemudian membangun budaya riset memerlukan waktu. Jadi jangan berharap, sebulan – tiga bulan, lembaga riset sudah memberi input signifikan untuk kemajuan.

Ketika riset dimulai, selanjutnya butuh pemeliharaan yakni dengan terus melakukan riset secara ajeg dan berkesinambungan. Dalam hal ini anggaran jadi kebutuhan mendasar.

Kalau kata Prof. dr. Rob F. Mudde, Rektor ITB, membangun budaya riset memang butuh modal, sikap, semangat, dan konsistensi. Itu tujuannya jelas, yakni melahirkan insan peneliti yang mengedepankan budaya riset.

Prinsipnya lahirnya tim atau lembaga riset, butuh ilmu, kesadaran sekaligus kepemimpinan.

Proses

Dunia riset memang tidak mudah. Oleh karena itu kata Prof Mudde tak ada riset yang sempurna.

Baca Lagi: Membaca Masih Jadi Masalah Bagi Kaum Muda?

“Kesempurnaan itu bukan tujuan dari melakukan riset, tetapi menjadi makna dari tahap akhir riset. Seharusnya kita tidak hanya memercayai apa kelebihan kita, melainkan apa yang dilakukan memiliki nilai manfaat sehingga tercipta dunia yang lebih baik,” tegas Prof. Mudde.

Dengan demikian, tugas kita simpel saja. Kapan mau kumpul, membahas soal riset. Lalu buat kesepakatan dan “Bismillah” bentuk lembaga riset. Mulai dan evaluasi. Mulai lagi, evaluasi lagi, dan kembangkan. Karena riset hanya butuh satu kata, “Lakukan!”*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *