Kembali bahasan BBM penting kita pahami dengan baik. Ternyata APBN bisa kok tidak bebani rakyat. Jika pemerintah memiliki belas kasihan kepada rakyat kecil dan mengerti bagaimana mengelolanya.
Ekonom senior Faisal Basri langsung ke intinya, yakni pemerintah menerapkan pajak ekspor kepada perusahaan-perusahaan batu bara. Sebagaimana berlaku pada sawit, yang nilainya bisa sampai 50%.
Dalam catatan Faisal Basri jika pemerintah bisa melakukan itu (pajak ekspor batu bara) maka negara akan menerima Rp. 200 triliun lebih dalam kondisi harga batu bara tinggi seperti sekarang ini.
Baca Juga: Nalar Kritis Soroti Kenaikan Harga BBM
Permasalahannya, pemerintah punya nyali tidak melakukan itu.
“Memang Pemerintah takut sekali dengan oligarki batu bara ini yang ada di lingkaran kekuasaan itu. Pendapat mereka (pengusaha) jadi luar bisa besarnya untuk apapun yang bisa mereka lakukan termasuk menentukkan Presiden dan Wakil Presiden. Itu yang harus kita lawan,” ungkap Faisal Basri seperti lansir CNBC.
Kesehatan Pertamina
Sementara itu menurut Rizal Ramli kala bincang bersama Rahma Sarita di channel Youtube Inilahcom mengatakan bahwa hadirnya perusahaan minyak seperti Vivo bermaksud mendorong Pertamina bisa efisien dalam manajemen.
“Kita sengaja dulu undang pemain baru atau dari luar termasuk Petronas, Vivo dan lain-lain supaya Pertamina ada saingan walaupun kecil,” ungkapnya.
“Tujuannya supaya Pertamina bisa lebih efisien. Karena kalau cuman dia (Pertamina) sendiri, monopoli, dia (Pertamina) akan sangat tidak efisien. Nah disediakan saingan-saingan kecil ini. Dan, ternyata Vivo sudah lakukan fungsinya, ya kan, dia lebih murah dari Pertamina,” sambungnya.
“Harusnya pemerintah terimakasih. Ada benchmark buat mengukur Pertamina,” tegasnya.
Tetapi yang terjadi malah pemerintah memaksa Vivo ikut menaikkan harga BBM.
“Ini pemerintah benar-benar gak lucu,” tukasnya.
Objektif
Mengacu pada nalar dua pakar ekonom itu sesungguhnya Indonesia bisa keluar dari pikulan berat utang yang menguras hampir 50% penerimaan negara.
Catatannya, memiliki keperkasaan untuk mendudukkan oligarki secara adil, sebagaimana ide ekonom senior tadi, Faisal Basri.
Kemudian, pemerintah memahami bahwa mengelola negara dalam hal ini mulai dari APBN jangan sekali-kali menjadikan rakyat sebagai mangsa setiap kali kesulitan membayar utang negara.
Harus selalu jadi ingatan kita bersama bahwa negara tugasnya melayani, melindungi dan mengayomi warga negara alias rakyat. Bukan malah menyengsarakan rakyat.
Baca Lagi: Tanda Keruntuhan Sebuah Bangsa
Nalar publik sampai saat ini masih terus bertanya, bagaimana Pertamina yang tidak ada saingan sepadan masih bisa menelan kerugian. Demikian juga dengan PLN dan lainnya.
Jadi, sejatinya Indonesia dalam hal ini APBN tetap bisa sehat, asal mau jujur, berani dan empati kepada rakyat.
Jika memang tidak sanggup sportif saja. Seperti kata meme soal cinta, mundur saja. “Biar aku saja yang nanggung. Kamu nggak kuat.”*