Mengkritik, semua orang tampaknya telah melakukan. Tetapi memikirkan solusi, sebagian kita belum benar-benar mengupayakannya. Mungkin karena kebiasaan sebagian besar orang senang gosip. Studi tahun 1993 menyebutkan pria menggunakan 55% waktu untuk gosip. Dan, wanita 67% menghabiskan waktunya untuk gosip. Entah seperti apa gosip pada tahun 2024, saya belum menemukan datanya.
Belum lama ini saya sempat mengeluarkan kalimat kepada teman-teman yang setiap hari bertemu, bahwa 85% isi percakapan kita adalah masalah. Kita tidak bicara gagasan lebih banyak daripada mengeluh dan tidak puas dengan keadaan. Entah bagaimana teman-temanku mengangguk setuju.
Baca Juga: Seni Menerima Kenyataan
Tragisnya, kadang kala keluhan, mungkin juga gosip, oleh sebagian orang diucapkan berulang kali dari hari ke hari, pekan ke pekan, bahkan sampai tahun ke tahun. Mengapa manusia cenderung seperti itu?
Cepat Bertindak
“Kebanyakan orang lebih suka bertindak daripada berpikir,” begitu JC Maxwell menegaskan dalam bukunya “Bagaimana Orang Sukses Berpikir”.
Ungkapan Maxwell itu maksudnya orang terburu-buru bertindak tanpa benar-benar memikirkan tindakannya. Dan, ia memberikan rekomendasi seseorang sebaiknya melatih diri berpikir, yakni berpikir reflektif.
Perhatikan saja bagaimana orang beradu argumen tanpa tahu akar masalah. Mungkin kita juga penting meraba dalam dada, bagaimana tiba-tiba merasa kecewa pada seseorang, padahal orang itu tidak melakukan kesalahan.
“Hanya karena orang itu tidak menuruti kemauan kita, kita menganggap orang itu jelek. Apakah benar jelek, tidak. Tapi kita yang merasa tidak dihargai,” kira-kira begitu kalimat Gus Baha. Sebuah kalimat yang mengundang kita bagaimana tidak mudah bertindak buruk meski dalam hati tanpa proses berpikir.
Cepat bertindak yang seperti itu namanya reaktif. “Watak dan sikap reaktif selain banyak merugikan diri sendiri juga merugikan orang lain,” begitu Prof. Nasaruddin Umar dalam artikelnya “Kelemahan Sikap Reaktif,” menegaskan.
Siapa orang itu? Tidak perlu kita menunjuk hidung orang lain. Jika ada sifat mudah sekali tersinggung, cepat marah, gampang mengeluarkan kata-kata kasar yang kemudian disesali, itulah orang yang cepat bertindak tanpa berpikir alias reaktif.
Berpikir
Orang mengenal kata berpikir sejak pertama sekolah, mungkin begitu. Akan tetapi bagaimana berpikir, tidak benar-benar mudah. Sekalipun banyak orang sekolah dan punya gelar.
Rocky Gerung malah mengatakan, ijazah itu bukti anda pernah sekolah, bukan bukti anda pernah berpikir. Artinya, berpikir memang hal yang sangat jarang orang lakukan, kalau kita pakai perspektif Rocky.
Secara pengertian, berpikir bisa kita maknai sebagai proses mental yang menggunakan akal budi dalam upaya mempertimbangkan, menganalisis, dan memahami informasi, konsep atau situasi.
Kalau dahulu ingat masa belajar Matematika di kelas, berpikir artinya bisa memecahkan soal (masalah dalam hidup). Dalam skala lebih luas berpikir artinya bisa mengambil keputusan dan menghasilkan ide-ide kreatif.
Dan, orang yang bisa berpikir positif akan selalu terdorong bergerak dan bertindak. Sebaliknya ketika orang berpikir negatif, akan selalu ragu, bimbang dan tidak akan bertindak (dengan basis ilmu). Agar mampu seperti itu, kata orang bijak, sering-seringlah basuh batinmu sampai bersih.
Berpikir Reflektif
JC Maxwell termasuk orang yang senang dengan berpikir reflektif. Untuk bisa berpikir reflektif ia punya dua jenis pertanyaan. “Apa yang kamu suka terbaik?” Kemudian “Apa yang kamu pelajari?”
Pertanyaan itu ia ajukan kepada siapapun, termasuk kepada anak-anaknya seusai liburan akhir tahun. Katanya, “Karena saya ingin mereka merefleksikan pengalaman mereka”.
“Kita hendaknya tidak melihat ke belakang kecuali untuk mendapatkan pelajaran yang berguna dari kesalahan masa lalu dan untuk tujuan mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang dibeli dengan baik,” itu ungkapan George Washington yang juga Maxwell kutip.
Baca Lagi: Pentingnya Berpikir Mengapa
Alquran mengundang kita berpikir reflektif dengan mendalami peristiwa-peristiwa bersejarah. Adakah pelajaran (ibrah) yang kita peroleh untuk bekal mengisi kehidupan dengan iman dan taqwa.
Solusi Dunia?
Sekarang kita memang berada dalam kemajuan teknologi luar biasa. Namun, kita juga menghadapi problem tidak biasa. Ekonom lahir setiap tahun, tapi kemiskinan semakin meluas. Kedokteran bertambah canggih, tapi kesehatan masyarakat semakin rentan sekaligus mahal.
Lalu apa solusi kita untuk dunia? Rasa-rasanya ini adalah pertanyaan sangat besar.
Ketika kita belum mampu menjawab, maka kita bisa turunkan levelnya, apa solusi kita untuk Indonesia, bangsa atau keluarga bahkan diri sendiri.
Jika itu juga berat, setidaknya kita harus mulai sadar, bahwa hari ini dan hari-hari ke depan, lebih baik kita banyak berpikir solusi daripada ngalor-ngidul bicara yang tak ada arti.*