Mungkin hidup memang seperti sepakbola. Hanya 22 orang bermain, berhadap-hadapan, bertanding. Sementara itu puluhan ribu lainnya menonton di tribun. Tapidalam kenataan mau jadi pemain atau penonton itu pilihan. Mungkin sama dengan mau jadi orang yang gemar berkomentar atau berkarya, itu juga pilihan.
Sebuah artikel menyebutkan bahwa orang Indonesia banyak yang suka memberikan komentar di media sosial. Sampai-sampai netizen Indonesia dapat sorotan dunia.
Baca Juga: Bahagia dengan Berkarya
Sisi kurang baiknya, netizen Indonesia dapat nilai tidak lebih sopan dari negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam memberikan komentar.
Seseorang berpendapat itu terjadi mungkin karena sebagian besar orang merasa senang fokus pada masalah orang lain. Dengan begitu pula ia bisa melupakan masalahnya sendiri.
Sadisnya, ada netizen yang senang kalau ada postingan orang lain hidup lebih susah. Karena hanya dengan hal itu ia bisa merasa lebih baik dari orang lain.
Akan tetapi langkah seperti itu tetap memberi dampak buruk. Orang akan mudah sekali membandingkan dirinya dengan orang lain, kemudian timbul rasa tidak puas, merasa tidak bahagia dan selalu lebih buruk dari orang lain.
Sebagian mungkin hanya suka melempar kata-kata dengan semangat bebas berpendapat, tapi mereka lupa akan tanggung jawab dari setiap komentar yang mereka berikan.
Pada akhirnya kalau tidak sadar dan berhenti, maka selama-lamanya orang akan terus jadi komentator. Mengerti masalah orang lain, tetapi tidak paham masalah diri sendiri. Atau bahkan ingin lari dari tantangan hidup.
Era Iqra
Mengapa banyak orang Indonesia suka berkomentar?
Salah satu jawabannya mungkin data ini. Bahwa ada 167 juta pengguna media sosial pada Januari 2023. Angka itu setara dengan 60,4% dari populasi Indonesia. Itulah laporan dari We Are Social.
Baca Lagi: Rumus Bahagia
Dari sisi waktu, orang Indonesia main sosial media selama 3 jam 18 menit. Angka itu menjadi yang tertinggi kesepuluh di dunia.
Media sosial sebenarnya tidak bersalah apa-apa. Akan tetapi kita sendiri yang tak mapan dalam menghadapinya.
Kalau masyarakat kita gemar membaca, maka era media sosial akan jadi era Iqra.
Bahkan bisa saja orang berkarya dengan komentar-komentarnya. Sejauh memang punya landasan dan tentu saja harus mampu mempertanggungjawabkannya.
Latihan-latihan analisa bisa kita lakukan dengan berkomentar. Namun, lambat laun harus mampu beranjak, berkarya. Jangan seumur hidup berkomentar saja.
Apalagi faktanya, orang semakin mudah dapat informasi, bahkan tanpa harus mencari datang sendiri.
Akan tetapi kalau daya Iqra (membaca) lengkapnya Iqra Bismirabbik tidak terbangun, maka semua informasi itu hanya akan jadi sampah.
Walaupun diri bereaksi, umumnya akan emosional. Orang akan lupa akan konsep tabayyun. Lihat saja bagaimana orang heboh dalam media sosial.
Tetapi setiap ada kehebohan itu hanya seperti luapan banjir, selanjutnya hilang. Hanya keburukan saja yang terjadi.
Sayangnya tak setiap jiwa bisa memahami. Karena memang tak setiap orang mau berpikir sebagaimana perintah Allah dalam Alquran.
Cerdas dengan Berkarya
Media sosial juga harus kita pandang sebagai peluang. Jangan sebagai musuh.
Era media sosial adalah era setiap orang membina kecerdasan dan berkarya dengan kecakapannya itu.
Bukankah orang mudah mengupload foto atau video. Tinggal berikan makna, bingkai, tema, atau bahkan caption yang membangun, menggugah.
Platform media sosial memang memberikan fitur interaksi dengan like, comment dan share, tetapi biarlah itu jadi hal yang dipikirkan pemilik platform. Tugas kita terus saja menanamkan kebaikan-kebaikan.
Sebab kalau yang jadi fokus adalah fitur itu, maka kita akan berpikir bagaimana orang banyak like and comment. Padahal, seorang pakar IT bertutur kepadaku, setting media sosial akan meramaikan konten-konten yang kontroversial.
“Kalau konten Anda normal, tidak akan ada kehebohan di sana. Yang komentar mungkin tidak ada, yang like pun sedikit,” ujarnya.
Tetapi tetaplah memainkan media sosial sebagai sarana dakwah. Apakah orang banyak like, share and comment, itu jangan jadi tujuan. Oh..ya, ada yang dapat uang dari cara begitu. Biarkan saja, rezeki orang itu telah Allah tetapkan.
Jadi, tetaplah baik. Pilih menjalani hidup menjadi cerdas lalu berkarya.
Bahwa tidak banyak konten yang viral itu bukan masalah. Karena dalam pandangan Allah, yang manusia lakukan itu pertama dinilai dari niat. Kedua, timbangannya adalah benar dan maslahat.*