“Ihsan, ambil air di sumur. Ayahmu mau datang dari kebun. Cepat!”
Suara itu membuat Ihsan yang baru saja mau meluruskan badan harus bangun.
“Andai saja aku tidak punya ibu tiri,” gumam Ihsan dalam hati.
Namun karena takut, Ihsan yang masih berumur 6 tahun mengayunkan kakinya, mengikuti aba-aba sang ibu tiri.
Ihsan melangkah dengan sekuat tenaga. Ketika usai menjalankan suruhan itu, ia berharap ia bisa rebahan, ternyata titah baru datang lagi.
“Sekalian itu, piring-piring dicuci. Sebentar siang mau dipakai makan,” seru ibu tiri itu menggelapkan hati Ihsan.
Ihsan marah, tapi apa boleh buat. Ia tak berdaya.
Mau melapor kepada sang ayah, percuma saja. Karena sang ayah tampak senang sekali dengan istri barunya itu.
Begitulah kehidupan Ihsan sehari-hari. Tak ada waktu tanpa perintah yang datang berulang kali sepanjang hari. Bahkan hari Sabtu dan Minggu pun tak jauh berbeda.
Teman-teman Ihsan bahkan tak lagi datang ke rumah untuk mengajak bermain.
“Tidak usah ajak Ihsan, ibu tirinya banyak meminta dia kerja,” ungkap Adam kepada Hadi saat bermain dan ingin mengajak Ihsan. “Kasihan Ihsan,” kata Hadi menyahuti Adam.
***
Suatu waktu, siang hari, matahari sedang terik-teriknya, Ihsan melaksanakan intruksi ibu tirinya antar makanan dan minuman untuk ayahnya di ladang.
Ihsan yang baru saja pulang sekolah tak sempat duduk walau sebentar.
Dalam perjalanan menuju kebun, ia melihat seekor kucing sedang lelap tidur.
Dan, saat kembali dari kebun, ia melihat kucing itu makan ikan dengan lahap.
Dalam hati Ihsan berkata, “Andai saya bisa jadi kucing, tenteram sekali sepertinya hidupku.”
Karena lelah sampai di rumah Ihsan tertidur di ruang tamu. Ibu tiri yang sedang merapikan dapur berulang kali memanggil namanya. Namun tak ada sahutan seperti biasanya.
Berkali-kali memanggil tak ada jawaban, ibu tiri melangkahkan kaki mencari Ihsan. Begitu melihat Ihsan tidur di ruang tamu, tangan kanannya yang memegang sapu reflek memukul pinggan Ihsan.
“Bangun. Ayo bangun!”
Ihsan berteriak kesakitan. Air matanya meleleh. Ihsan segera bangun dan duduk sembari menangis.
Sang ibu tiri tak peduli. Ia terus ngomel, menusuk telinga dan hati Ihsan dengan kata-kata tak patut karena kesal.
Ihsan tak berdaya. Ia berteriak di dalam hati, memanggil-manggil nama sang ibu kandung yang sebulan lalu dimakamkan.
“Ibu, ibu, ibu,” rintih Ihsan sembari menahan sakit di pinggangnya dengan hati yang begitu perih.
***
Waktu bergulir Ihsan tumbuh dewasa. Ia bahkan telah memiliki istri dan anak-anak yang lucu.
Kehidupan pahit kala kecil telah membentuk karakter kerja keras dalam dirinya.
Suatu waktu sang ayah menelpon Ihsan. “Ibumu sakit, bisa kah dibantu kirim uang beli obat.”
Ihsan terkejut dan kala ia ingat bagaimana kala kecil diperlakukan, rasanya ia ingin membentak dan berkata tidak.
Namun, Ihsan tak setega itu. “Baik, ayah. Segera saya kirimkan uang untuk beli obat ibu.”
Ihsan menangis. “Ya Allah, jika tidak karena hamba-Mu bernama Yusuf yang begitu mulia hatinya, rasanya saya tidak mau memaafkan ibu tiriku. Tapi, Engkau Maha Pemaaf, aku maafkan ibu tiriku, ya Rabb.”
Ihsan membuka mobile bankingnya dan mengirim sejumlah uang ke no rekening sang ayah. Usai melakukan itu, Ihsan tersungkur, bersujud.
“Ya Allah, terimakasih. Engkau yang membuat hati ini tak perlu merasa menang dengan menyimpan dendam.”
Begitulah Ihsan, memang sejak kecil selalu senang membaca Surah Yusuf setiap harinya. Ia merasa kisah Nabi Yusuf itulah penguat batinnya.*