Mas Imam Nawawi

- Opini

Analisis Ekonomi: Mengapa Buku Fisik Sulit Menjadi Prioritas Konsumen UMR

Mengapa minat baca di Indonesia terkesan atau memang sangat rendah? Jawabannya sering kali bukan melulu soal budaya, melainkan lebih realistis: daya beli. Mari kita bedah dari sisi ekonomi, menggunakan simulasi yang sangat dekat dengan realitas pekerja bergaji Upah Minimum Regional (UMR). Pikiran ini muncul usai kemarin (7/10/25) saya mengikuti diskusi literasi di Dewan Da’wah yang […]

Analisis Ekonomi: Mengapa Buku Fisik Sulit Menjadi Prioritas Konsumen UMR

Mengapa minat baca di Indonesia terkesan atau memang sangat rendah? Jawabannya sering kali bukan melulu soal budaya, melainkan lebih realistis: daya beli. Mari kita bedah dari sisi ekonomi, menggunakan simulasi yang sangat dekat dengan realitas pekerja bergaji Upah Minimum Regional (UMR).

Pikiran ini muncul usai kemarin (7/10/25) saya mengikuti diskusi literasi di Dewan Da’wah yang mendatangkan Tohir Bawazir sebagai narasumber. Ia adalah owner dari Pustaka Al-Kautsar. Perjuangannya dalam menerbitkan buku luar biasa. Pustaka Al-Kautsar sendiri telah menerbitkan 3500 judul buku. Namun ada pertanyaan, bagaimana nasib buku ke depan?

Sebab permasalahan orang tidak mau membeli buku bukan semata-mata tidak suka baca. Boleh jadi ada sisi lain. Coba kita perhatikan.

Asumsikan seorang pekerja lajang di ibu kota menerima Gaji UMR Rp5.000.000. Setelah dialokasikan untuk biaya transportasi pulang-pergi kerja bulanan sebesar Rp1.000.000, sisa gaji bersih tinggal Rp4.000.000.

Angka Rp4 juta inilah yang harus dibagi untuk semua kebutuhan lain: sewa kos/kontrakan, makan 30 hari, listrik, air, pulsa, dan iuran kesehatan. Fakta di lapangan, rata-rata biaya hidup riil di kota besar seringkali jauh melebihi UMR, membuat sisa Rp4 juta itu sangatlah ketat.

Perjuangan Melawan Hierarki Kebutuhan

Lalu, di mana posisi buku dalam skema pengeluaran ini?

Jika harga satu buku adalah Rp150.000, uang sejumlah itu mewakili 3% dari total gaji bulanan atau setara dengan jatah makan siang selama 5-7 hari. Dalam ilmu ekonomi, buku fisik termasuk kategori pengeluaran non-primer atau discretionary spending.

Seorang pekerja UMR akan selalu memprioritaskan: Pangan, Papan, dan Kelangsungan Kerja (Transportasi). Sebelum menyentuh Rp150.000 untuk buku, ia harus memastikan perut kenyang, atap di atas kepala, dan bisa berangkat kerja esok hari.

Pengorbanan

Membeli buku pada harga Rp150.000 adalah keputusan pengorbanan (opportunity cost) yang besar. Keputusan itu menuntut pekerja mengurangi alokasi di pos yang lebih penting, atau menunda pembelian hingga beberapa bulan ke depan.

Inilah fakta pahitnya. Sulit bagi seseorang yang struggling memenuhi kebutuhan dasar untuk menjadikan buku fisik sebagai kebutuhan rutin. Belum lagi kebutuhan akan paket internet atau WIFI yang bagi person tertentu bisa mengambil paket yang sedikit ideal dengan harga 2 kali harga buku yang Rp150 ribu.

Oleh karena itu, mereka akan mencari substitusi yang lebih murah—konten gratis di internet, pinjaman perpustakaan, atau bahkan buku bajakan—sebagai solusi yang lebih rasional secara finansial.

Jadi, masalahnya bukan sepenuhnya karena “malas baca,” tapi boleh jadi karena buku fisik terlalu mahal untuk dompet UMR. Solusi untuk meningkatkan minat beli buku harus dimulai dari peningkatan daya beli atau membuat harga buku jauh lebih terjangkau.

Negara Lain Menyikapi Buku

Saya sendiri pernah membaca artikel bahwa Denmark dalam upaya meningkatkan warganya suka membaca buku, langsung mengeluarkan kebijakan pajak 0% untuk buku.

Pernah juga saya mendengar dari Kang Maman pegiat literasi Indonesia ada satu negara yang kalau ada terbit satu buku maka pemerintahnya membeli sebanyak 1000 eksemplar.

Nah, bagaimana dengan Indonesia yang ingin 2045 mencapai masa Indonesia Emas. Meminjam ungkapan Rolf Dobelli dalam “The Art of The Good Life Filosofi Hidup Klasik untuk Abad ke-21” kebijaksanaan adalah pencegahan.

Pertanyaannya sekarang, untuk mencegah terjadinya kegagalan mencapai Indonesia Emas 2045, apakah pemerintah melihat masalah ini sebagai hal krusial. Yang selanjutnya oleh pemerintah dipandang sebagai situasi mendesak bahkan darurat untuk segera menerbitkan kebijakan strategis?*

Mas Imam Nawawi