Pagi hari, weekend perdana Ramadhan 1444 H, anakku yang sedang mendewasakan diri di pesantren menghubungiku. Sekali dalam sebulan, memang ada tempo untuk bisa komunikasi dengan orang tua melalui telepon. Ia langsung semangat bercerita buku.
“Alhamdulillah, kakak berhasil membaca buku karya Asma Nadia. Ehm…judulnya “Dunia Tanpa Jendela.”
Melihat antusiasnya itu, langsung ku kejar dengan sebuah pertanyaan.
Baca Juga: Berteman dengan Buku
“Apa pesan yang tertangkap?”
Sekaligus saya ingin mengetahui apakah anakku tahu apa dia masih ingat beda membaca dengan melihat-lihat huruf.
“Buku itu memberi pesan kepada pembaca bahwa kita harus punya cita-cita dan berusaha sekuat tenaga.
Kalau ada kesulitan maka berusahalah dengan doa. Kalau telah berdoa dan belum berhasil, jangan buruk sangka kepada Allah.
Terus usaha, karena Allah pasti memberi jalan keluar. Allah itu memudahkan, tidak menyulitkan,” tuturnya dengan sangat lancar.
Hati ini terasa adem. Anakku tumbuh menjadi sosok yang mau membaca buku. Ia memang tumbuh dengan hanya satu barang paling sering ia lihat, yakni buku.
Bumi Cinta
Tidak cukup cerita buku tentang “Dunia Tanpa Jendela.” Ia menyampaikan satu ajuan.
“Oya, apakah boleh nanti novel yang ada di rumah bawa ke sekolah, untuk perpustakaan?”
Spontan ku jawab, “Iya, boleh. ”
Ini sebuah hal yang melampaui ekspektasiku selama ini.
Baca Lagi: Dua Sahabat Tangguh
Anakku tak sekadar mau membaca, tetapi mulai peduli pada sesama. Berbagi buku untuk semua.
Jadi teringat sama Kang Maman, yang setiap hari selalu membagi-bagikan buku.
“Siap terbang ke Riau, ke Papua, ke Sulbar,” begitu beberapa status Facebook Kang Maman yang kubaca lengkap dengan foto sedang mengirimkan Alquran dan buku-buku.
Buku “Bumi Cinta” karya Kang Abik memang kubelikan untuk anakku.
Tetapi ketika ia telah membaca dan mau mengamalkannya di perpustakaan, itu nikmat Tuhan yang luar biasa.
Bahasa Tuhan
Namun aku juga merasa bahwa apa yang anakku ucapkan sebenarnya juga bahasa Tuhan.
Seakan itu sebuah kabar gembira. Seakan-akan Allah berkata, “Terimakasih Imam, hamba-Ku yang kutitip kepadamu telah engkau didik dengan baik.”
Ya, Allah, padahal diriku mendidiknya dengan penuh kelemahan. Dan, atas capaian anakku hari ini, semoga Engkau ridhoi dan tambahkan lagi berkah-Mu.
Allah Maha Baik, Allah Maha Tahu. Dan, semoga dengan kuasa Allah yang tak terbatas, anakku juga bisa bermanfaat bagi sesama, menghadirkan kebaikan bagi Indonesia dan dunia. Melampaui ayahnya yang sangat terbatas ini.*