Kalimat Alquran sebagai tuntunan terkesan memang biasa. Selain itu, kata tuntunan memang cukup sering diperdengarkan. Dahulu, kala dai sejuta umat ceramah biasa menggunakan kalimat, “Tontonan jadi tuntunan. Tuntunan jadi tontonan.”
Siang tadi (19/4) selepas Dhuhur saya mendapati satu pemaknaan yang lebih mendalam dengan kata tuntunan. Anehnya itu muncul setelah saya membaca pemikiran seorang pegiat filsafat di Jerman abad XX ini, yaitu Max Horkheimer.
Satu di antara sekian banyak pikirannya adalah bahwa kita harus melihat fakta bukan sebatas hal biasa, tetapi ada sesuatu di balik fakta. Sesuatu itu bisa berupa nilai bisa pula hasrat berkuasa untuk mendominasi narasi dunia dengan kamuflase kerja-kerja rasio.
Baca Juga: Pastikan Arah Hidup
Saya pun coba menelusuri fakta demi fakta yang belakangan terjadi. Tampaknya ada benarnya kajian Horkheimer ini, utamanya dalam analisis sosiologis kontemporer. Betapa ada fakta menjadi legitimasi untuk sebuah kebrutalan?
Kasus WTC 9/11 pada 2001 silam, telah menjadikan Amerika menilai fakta dengan hasratnya lalu melakukan tindakan destruktif di Afghanistan. Bahkan kasus-kasus duplikasi pun harus terjadi di banyak negara agar fakta itu semakin kuat dan stigmatisasi bisa berjalan mulus.
Pada akhirnya, fakta menjadi ilmu. Bukan ilmu yang membentuk fakta. Padahal, benarkah fakta yang fenomenal itu dilakukan seperti penilaian Amerika terhadap umat Islam? Apakah pernah ada bukti terungkap? Bukankah arti kata teroris sampai saat ini masih belum pernah ditemukan kata sepakat?
Membentuk
Kembali pada tema Alquran sebagai tuntunan. Kalau dilihat secara historis amat terang bahwa Alquran ini memang menuntun Rasulullah SAW membentuk satu fakta, realitas bahkan cara memandang kehidupan dengan tuntunan ayat-ayat Alquran.
Mulai dari perintah Iqra’ Bismirabbik, kemudian meyakini nikmat Alquran akan menyelamatkan manusia dari kegilaan, hingga perintah Qiyamul Lail dan beragam ibadah lainnya, sampai puncaknya tandang ke gelanggang untuk dakwah.
Hal itulah yang dipahami kemudian diamalkan, sehingga membentuk satu fakta dan realitas baru yang menjadikan Makkah menjadi tempat dengan nuansa pembaharuan yang kuat.
Pendek kata, Alquran turun, dibaca, dipahami, diamalkan, lalu diajarkan. Begitulah siklus kehidupan umat Islam di masa Rasulullah SAW.
Artinya, jika harus ditanyakan apa yang harus diperbuat umat Islam hari ini untuk ikut mengatasi problematika kemanusiaan dan lain sebagainya, jawabannya adalah dengan memanivestasikan nilai-nilai Alquran itu sendiri hingga terbentuk satu fakta atau realtias baru.
Bermula dari Akhlak
Fakta atau realtias baru itu bisa dimulai dengan gerakan akhlak. Alquran meminta kita untuk berbuat baik, maka jangan kejahatan yang diagendakan dalam kehidupan ini.
Alquran memerintahkan bersyukur kepada kedua orangtua maka jangan kufur kepada keduanya. Termasuk di dalamnya dalam hal yang lebih luas, Alquran meminta kita untuk bersatu dan bersaudara, maka tidak sepatutnya kita menjadi penyulut permusuhan dan perpecahan.
Dalam skala lebih tegas, menarik apa yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi.
“Kalau kita tidak bisa menjadi orang pandai, marilah kita menjadi orang baik. Kalau kita tidak bisa menjadi ulama, marilah kita didik anak-anak kita menjadi ulama. Kalau kita tidak bisa menjadi pemimpin, marilah kita dididik anak-anak kita menjadi pemimpin. Kalau kita tidak bisa menjadi orang kaya, marilah kita makan dengan yang halal, dan jika kita diberi kekayaan oleh Allah, marilah gunakan kekayaan itu untuk ibadah kepada Allah.”
Baca Juga: Meraih Kejayaan dengan Adab
Bagi saya itulah akhlak, itulah fakta dan realitas yang harus diperjuangkan dalam kehidupan ini. Dan, itulah cara terbaik menerjemahkan Alquran sebagai tuntunan, sehingga keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat bisa kita raih bersama-sama.
Mas Imam Nawawi_Ketua Umum Pemuda Hidayatullah