Home cerita Aku Mau Kaya Raya
Aku Mau Kaya Raya

Aku Mau Kaya Raya

by Imam Nawawi

“Besar kau mau bisa apa,” tanya Hendri kepada Hendra yang sedang asyik scrolling media sosial. “Mau kaya raya, lah, bisa jadi sultan,” jawab Hendra spontan agak kesal, karena Hendri sudah lebih 7 kali bertanya.

“Sultan apa?” Hendri mengganggunya lagi.

“Sultan yang bisa apa saja. Bisa pakai Rubicon, Harley Davidson, sama keliling dunia, foya-foya,” ucap Hendra yang mulai menikmati tema obrolan tentang sultan itu.

“Kalau kamu mau jadi orang terhormat, kamu harus punya fulus, bagus jadi sultan,” sambung Hendra .

Hendri mulai jengkel, ia lantas pergi meninggalkan Hendra.

“Ndri, mau kemana, kenapa pergi?” teriak Hendra.

Baca Juga: Menulis untuk Bermanfaat

“Sudah sore, waktunya ke madrasah, ngaji dulu, biar jadi sultan yang bener,” timpal Hendri sembari berlari.

Hendri dan Hendra memang soulmate sejak SD. Belakangan ketika kelas XI mereka tetap berteman, tapi beda pemikiran dan kebiasaan. Namun tetap akrab dan hangat.

Hendri suka baca buku, Hendra gemar buka media sosial. Untunglah Hendra tidak kemakan game online, sehingga masih bisa ngobrol, interaksi sama Hendri, teman sejak kecilnya.

Yang Mulia itu Hamba

Melihat Hendri pergi mengaji ke madrasah, Hendra tersenyum.

“Kagak keren, hari gini ngaji di madrasah, mendingan sini ni, ada juga akun Ustadz, terkenal lagi,” ucap Hendri sambil senyum-senyum sendiri.

Tapi biar berkah, harus berwudhu juga kali, ya. Hendri mulai bingung, apakah langsung nonton akun Ustadz terkenal atau perlu wudhu dulu.

“Kalau Hendri sih, wudhu dulu baru masuk madrasah. Aku juga harus begitu,” Hendri mulai yakin dengan pilihannya.

Hendra melangkah ke kamar mandi, tidak sampai 3 menit ia sudah keluar.

“Sudah berwudhu ini, saatnya nonton tausiyah Ustadz. Lagian dari tadi scrolling kagak faedah,” ucapnya sembari menggelar sajadah di teras rumahnya.

Pas buka, langsung dapat konten tausiyah Ustadz tentang Isra’ Mi’raj.

“Jadi, semulia-mulia orang di sisi Allah, bukan yang jadi sultan, bukan yang jadi direktur, bukan yang jadi konglomerat, tapi yang jadi hamba Allah.

Kurang mulia apa Nabi Muhammad SAW, tapi apa Allah sebut kepada putra Abdullah itu, hamba. Sekali lagi, hamba. Subhanalladzi Asra bi ‘Abdihi. Apa ‘Abdihi, artinya hamba, hamba Allah,” urai sang Ustadz penuh semangat.

Hendra kaget. “Ternyata saya salah, yang mulia di sisi Allah adalah hamba-Nya, bukan sultan. Nanti kuralat sama Hendri, bahwa aku ingin jadi hamba-Nya yang sultan,” gumam Hendra dalam hati.

Hendra kembali ke tausiyah sang Ustadz. “Hamba Allah itu yang bagaimana, yang ia dekat dengan masjid, lihat Nabi, Allah bawa dari masjid ke masjid.”

“Waduh, gawat saya, benar Hendri, ngaji mah di madrasah, dekat masjid itu,” batin Hendra.

Tanpa banyak berpikir Hendra lompat dari terasnya berlari menuju madrasah, menyusul Hendri. Smartphone keluaran terbaru yang bisa dilipat itu pun tak lupa dibawanya juga.

Pergaulan

Hendra yang terengah-engah karena berlari akhirnya sampai di madrasah. Ia lihat Hendri sedang membaca Alquran duduk paling belakang.

“Belum mulai, ya, pengajian Ustadz,” ucap Hendra yang langsung duduk sebelah kiri Hendri.

“Belum, sebentar lagi sepertinya, nih 3 menit lagi. Sudah duduk yang bagus, sultan,” balas Hendri.

“Kamu doakan aku ya, Ndri, aku mau jadi hamba Allah,” Hendra ngomong lagi.

“Wah, keren tuh,” Hendri menimpali.

Baca Lagi: Viral Akhlak Penentu Kemenangan

“Ya, doakan aku jadi hamba Allah yang sultan. Jadi aku bisa membebaskan orang miskin, bisa menyelamatkan anak-anak korban perdagangan manusia, bisa membuat kamu jadi presiden juga Ndri,” ucap Hendra serius.

“Aamiin, aamiin,” Hendri mengiyakan keinginan Hendra.

“Kamu luar biasa Ndra, perilaku saja yang kadang aneh, giliran ngomong, omonganmu luar biasa, keinginan-keinginanmu hebat-hebat. Kamu tinggal satu saja Ndra,” tutur Hendri memberi opini.

“Apa, apa, apa, Ndri,” Hendra gak sabar mendengar.

“Kamu doa juga sendiri dalam sholat, Tahajjud, terus latihan pergi ke pasar, bisnis kayak Utsman bin Affan, insha Allah kamu jadi hamba Allah yang sultan.”

Hendra tersenyum. “Ndri, Ustadz datang, ayo mulai dengar pengajian. Jangan lupa doakan aku jadi hamba Allah yang sultan, sultan yang bener, kata kamu tadi.”

Hendri hanya menanggapi dengan senyum. Senyum indah, yang menandakan bahwa Hendra pantas jadi hamba Allah.

“Sultan atau bukan tidak penting. Yang penting hamba Allah, mulia sekali itu,” Hendri membatin.

Keduanya pun mematung, tanda takzim sama guru dan majelis ilmu.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment